Rabu, 30 April 2014

Teguran karena mengabaikan

3 Maret 2014,
kejadian itu takkan lekang di dalam benak. Sebuah pelajaran dari Tuhan untuk membuat hamba-Nya lebih berhati-hati...

Tapi, ada yang lebih dalam dari itu...
bukan sekadar rasa sakit di sekujur tubuh dan urai air mata menahan ngilu.
Ada pedih di hati karena membuat mama merindu,
hingga Tuhan memberiku... WAKTU...

Sejak Januari 2014, Mama sudah bertanya kapan saya bisa pulang, yang hanya saya jawab dengan,"Iya, Ma, belum tahu, kan sekarang sedang penelitian dan persiapan UAS."
ya, kala itu waktu saya dihabiskan untuk kuliah dan tugas akhir. Mama mencoba mengerti.

Februari,
mama semakin sering menelpon, meminta saya pulang, dengan alasan UAS sudah selesai...
yang lagi-lagi saya jawab dengan, "Penelitian nanggung, Ma. sedang banyak-banyaknya mengurus si putih kecil itu."
Mama mengerti LAGI.

Sesungguhnya, saya pun merindu Mama. Betapa saya ingin menghambur ke peluknya untuk sekedar melepas penat dari beban yang saya bawa beberapa bulan terakhir ini, betapa saya rindu menatap wajah ayunya...

hingga akhirnya,
2 Maret 2014,
sore itu, saya kembali berbicara dengan mama lewat telpon. Lagi, mama meminta saya pulang. Dan kebetulan saat itu, saya betul-betul telah letih menghadapi semuanya. Bahwa saya butuh udara segar barang satu dua hari sebelum kembali berkutat dengan pendidikan..
Entah apa yang membuat saya mengiyakan permintaan mama.
Malam itu juga, saya berangkat menuju tanah kelahiran.

Tak dinyana, keesokan sorenya Tuhan menurunkan teguran.
Teguran? ya, meski saya menjadi korban dalam musibah itu, tapi saya menjadi tersangka atas pengabaian pinta orang tua... karenanya, Tuhan melayangkan teguran kepada saya...

Subuh saya tiba, saya melihat tumpukan bahan makanan kegemaran saya, saya bertanya kepada Mama untuk apa semua bahan ini,
Mama menjawab, "Kalau kamu ga pulang rencananya mama mau ke sana, bawain makanan kesukaan kamu."
Sempat berdesir rasa hati, namun saya memilih mengabaikan.

sampai setelah kejadian itu, mama mengabarkan kepada nenek, dan di sana saya tahu dan sadar bahwa saya BERSALAH...
mati-matian saya menahan air mata saat mendengar lirih cerita mama kepada bundanya tentang rindu pada putrinya yang merantau dan jarang pulang...

Di sana saya sadar,
ketika saya tidak bisa mencarikan waktu untuk bersenda gurau dengan mama,
Tuhan turun tangan memberinya lebih banyak dari yang saya kira...
tiga hari yang saya minta, digandakan oleh-Nya menjadi hampir sebulan,
demi memuaskan rindu orang yang telah bertarung nyawa demi kehadiran saya di dunia.

Saya merasa buruk dan jahat,
Teguran Tuhan begitu berbekas, baik di kulit maupun hati...

Mama,
saya minta maaf karena membuat mama menanggung rindu teramat sangat...

saya belajar banyak, Ma...
Share:

Senin, 28 April 2014

sepenggal analogi awan...


Langit senja ini menakjubkan!
Entah bagaimana langit berkonspirasi dengan alam untuk menyajikan goresan apik nan cantik nun di atas sana...
Cakrawala kali ini berbeda, setidaknya untuk saya, entah mengapa,

Wajah,
Ya, langit senja ini dipenuhi gumpalan awan menyerupai wajah...
Siluet bertebaran tak terjangkau tangan,
siluet yang entah mengapa dan bagaimana, menenangkan jiwa yang memandang...
Sepertinya Tuhan ingin mengabarkan bahwa saya tak sendirian di tengah perjalanan panjang pun melelahkan...
Tuhan menemani saya lewat goresan tangan-Nya yang tiada dua
:')

Hmm,
Jika langit penuh awan sebegini menyenangkan, mengapa terkadang justru hanya biru terang terpampang luas sejauh mata memandang ke cakrawala?
Sedang enggan kah Ia menggambar?
Atau justru kesengajaan?

terbayang langit biru bersih tanpa awan barang setitik,
ya, tetaplah indah,
namun...
ada yang kurang, terasa kosong tak bertuan

Ah, ini kiranya...
Tuhan memberi langit biru polos untuk membuat kita bertanya kemana gerangan sang awan pergi...
Begitupun ketika relung jiwa tiada yang mengisi,
tanpa sadar diri mencari, mencari, dan mencari
hingga ditemukan yang tersembunyi...

Karena kekosongan sejatinya ada di sini, di dalam hati,
tinggallah kita yang pandai mencari dan mengisi

Karena sejatinya, ada saat tertentu kita merasa hampa
seperti melihat langit tanpa warna selain warna antara biru dan magenta,
awan lah sebagai pemanis langit kokoh,
entah putih, atau kelabu,
karena tanpa awan, langit takkan hidup dan seru...

sama seperti hati,
meranggas tanpa isi...
Share:

Kamis, 20 Maret 2014

Dad is cute

Holla!

Jadi, cerita di bulan ke-3 tahun 2014 ini hanya tentang kecelakaan saya di awal bulan yang menyebabkan saya harus berurusan dengan dislokasi sendi lutut dan pergelangan kaki kanan. :|

Singkat cerita, akibat peristiwa tersebut, saya mendekam di rumah selama hampir 2 pekan. Dan selama itu pula saya dibantu dalam melakukan apapun.

Setelah mulai bisa berdiri dan berjalan meski tertatih, akhirnya Papa berinisiatif mengajak saya ke tukang urut yang sudah beberapa kali mengurut kaki saya sejak pertama kecelakaan (sebelum saya bisa berjalan, beliau yang dengan suka rela ke rumah untuk membantu saya. Terima kasih, Nek! :) ).

Ya terus, apa istimewanya dari ajakan keluar orang tua?
:)

"Kakak belum sempat kemana-mana kan karena baru sampai, langsung dapat musibah? Kita sekalian jalan-jalan ya, biar kakak menikmati kota ini. Yah, refreshing dikit lah gara-gara selama ini diam di rumah aja. "

Papa (yang biasa saya panggil Ayah dalam tulisan di blog) bukan tipe orang tua yang suka mengatakan "Papa sayang kamu" dst, dst. Tapi, jauh di dalam benaknya, beliau pun memikirkan kemungkinan saya mengalami kebosanan dan stres karena tak bisa menikmati dunia luar dan keterbatasan gerak. Sehingga, alibi "pergi mengurut kaki" menjadi ekspresi dari : "Papa sayang kamu, papa memikirkan kondisi kamu. Papa mengerti rasa jenuhmu."

Cara orang tua laki-laki menunjukkan perhatian itu lucu ya,
tanpa kata, namun terasa.
:)

Aaaaaaaaaakkkkk!!! 
I love you, Papa!
:*

Share:

Minggu, 23 Februari 2014

Let's think...


Pernahkah kita berpikir bagaimana kita menjalani hidup selama ini?

Pernahkan terpikirkan bagaimana orang akan mengenang kita nanti saat hanya memori sebagai penanda diri karena nyawa telah berpisah dengan bumi?

Akankah tangis dan doa terbaik mengiringi kepergian atau justru hela nafas lega sebagai pelepas?


Share:

Memori 30 Januari 2014

They said, "You never miss the water till it's gone."
- Westlife (Lyrics from song entitled When you're looking like that)

Agustus 2010,
pertama kuliah bersama rekan-rekan farmasi 2010. Saya ingat sekali bagaimana excited-nya pertama kali merasakan kuliah. Masih canggung untuk saling bertegur sapa dengan teman sekelas...

Lalu...

30 Januari 2014,
Menjelang tengah hari, semuanya berakhir...
Kuliah Farmakoterapi IV dengan Ibu Lailan Azizah S.Si, M.Farm, Apt menjadi kuliah penutup angkatan 2010.
Karena setelah ini, tidak ada lagi kuliah untuk angkatan 2010...

"Jadi, ini kuliah terakhir kita?"
Pertanyaan itu berputar dalam benak...
ckck...

Betapa hebatnya waktu, 
Rasanya baru kemarin kita saling menghapal nama dan rupa,
sekilas kemudian...

Tidak akan ada lagi pesan-pesan singkat berisi jadwal kuliah atau pertanyaan kuliah apa besok, tugas ini, tugas itu, jadwal praktikum...
Tidak ada lagi riuh kelas, tak ada lagi negosiasi jadwal untuk mencuri waktu istirahat di tengah kuliah.

Hilang,
Semua tak kan terulang,
dan bodohnya kita yang baru merasa kehilangan di detik perpisahan...

Haha, kita terbuai oleh waktu, Kawan!


Yang tersisa hanya harap dan doa bahwa, 
Kita, farmasi 2010 akan selalu menjadi satu keluarga meski waktu membawa kita ke tujuan baru..
:)


Ya,
Kita memang takkan merindukan sesuatu sampai ia berlalu...
:)
Share:

A letter to my friend

 Dear my friend, Santi...
10 years passed and the graduation of elementary school was our last meeting...
I thought we could had another "Hi." 
But Allah loves you so much more than we love you.

I was frozen when I read the news. My heart beat so fast while my mind kept a hope that wasn't true, that I still could have met you.
It is still clear in my mind about our childhood. How kind you are to me and others. Do you remember when our last grade, you gave me a blue hat as my birthday gift? The hat is there, safely stored in my wardrobe.
Your sweet voice when you tried to calm me down while I cried and hugged you at the graduation day. You said, "Why are you crying? We're still friends and we can meet each other."
We didn't meet even once after that.. 
But the memories lies forever in my mind..
 
Dear my friend, Santi...
We love you, I love you. But Allah loves you more than we do, Angel. Sleep well, my lovely. We always pray for you...

Now heaven has a new angel... :')
Share:

Minggu, 01 Desember 2013

Yang Ku Tahu Tentang Ayah

Beliau pria pertama yang ku kenal. Pria paling tampan yang pernah ku temui.
Pria tegas namun lembut pun mengayomi.
Sosok pekerja keras yang tangguh namun membumi.

Ya, AYAHKU.

Ayah terlahir dari keluarga sederhana sebagai bungsu berdarah asli Sumatera. Beliau tumbuh besar di lingkungan yang biasa pula. Namun aku tahu, beliau ISTIMEWA.

Ayah rela merantau jauh dari pelukan bundanya. Jujur, ayah tidak pernah bercerita banyak tentang dirinya. Akulah yang menyusun kepingan cerita tentang ayah yang diperoleh dari Ibu dan keluarga lain agar menjadi puzzle yang utuh tuk ku ketahui dan ku ceritakan pada generasi selanjutnya. Pun, puzzle itu tak kunjung sudah. :)

Aku tak tahu bagaimana cerita hingga ayah terdampar di kota kecil itu. Tapi aku tahu ceritanya ayah dan ibu. Aku tak tahu bagaimana kehidupannya dulu namun aku tahu kini hidupnya mapan dan bahagia bersama kami, keluarga kecilnya.

Yang ku tahu, 
Ayah berdedikasi tinggi terhadap pekerjaan dan sumpahnya. 
Aku ingat betul, acap kali ayah terbangun di tengah malam atau pagi buta karena ketukan pintu, atau keluar menembus dinginnya udara malam demi membantu sesama, tak peduli status sosialnya.
Berulang kali keluar kota dalam waktu singkat memenuhi urusan dinas. Tiada sekali pun kata letih terucap meski beliau kurang tidur dan harus berkutat dengan kertas dan rapat. 
Aku yang terkadang merasa kasihan pada ayah...

Yang ku tahu,
Ayah seorang yang galak dan disiplin.
Sekali aku dihukumnya lantaran aku enggan masuk sekolah karena terlambat tiba.
Tak cukup sepuluh jemari untuk menghitung berapa kali aku menangis kala ayah memaksaku menghapal perkalian sepulang sekolah saat seragam putih merah baru menjadi identitasku.
Kerap kali telinga panas mendengar nada kerasnya memerintahku untuk belajar atau mengaji saat mataku terpaku pada layar televisi atau bentakannya jika aku salah mengerjakan soal.
Atau...
"Pindah ke kelas siang kalau kelas sore pulangnya lewat maghrib!" itu yang ayah ucapkan kala aku pulang melewati jam soreku untuk les bahasa inggris. Ya, aku adalah putri kecil ayah yang harus pulang sebelum adzan Maghrib berkumandang.
Marah? Tidak. Karena kini aku merasakan hasilnya. :)

Yang ku tahu,
Kehidupan ayah sangat seimbang.
Ayah akan bekerja di saat jam kerja. Kemudian beberapa kali dalam seminggu ia melepas penatnya dengan melakukan hobinya : badminton. Dan setiap sore beliau menyempatkan waktu untuk berkumpul dengan tetangga sekitar. Tanpa meninggalkan hubungan vertikalnya dengan Sang Pencipta. 
Setiap malam (kecuali libur) ayah akan bertanya pada kami, anak-anaknya, "Ada PR? Ayo dikerjakan", lantas menikmati waktu senggangnya sembari sesekali memeriksa tugas kami.

Yang ku tahu,
Ayah seorang lembut dan penyayang
Setiap pagi ayah akan mengantar ketiga putra-putrinya ke sekolah. Aku saksi hidupnya, tiga belas tahun ayah mengantarku nyaris tanpa absen. Dan hal tersebut masih berlaku bagi kedua adikku. Malu? Tidak. Aku suka pergi dengan ayah dan ibu.
Ayah tidak ekspresif dalam menunjukkan rasa sayang, lebih banyak ibu berperan dalam praktiknya. Tak pernah kalimat sayang atau rindu ku dengar dari ayah.
Namun aku tahu, ayah merasakannya meski wajahnya penuh ketenangan yang menipu.

Pun, ayah, hanya dengan suaranya, mampu menenangkan aku yang tengah berkecamuk dalam diam menahan tangis.


Yang ku tahu,
Humoris dan serius menyatu sempurna dalam dirinya.
Ayah kerap membuat seisi rumah tertawa atau kesal-tapi-geli dengan leluconnya. Begitupun saat beliau dalam masyarakat. Ayah juga sering mengusili Ibu dan adik bungsuku. Jangan tanya berapa kali adikku itu menangis keras dan mengadu pada ibu. 
Dan jangan lupakan lomba lepas sepatu antara ayah dan adik lelakiku setiap mereka pulang. Hal itu selalu membuatku tersenyum dan adikku tertawa.
Bila waktunya bekerja, ayah akan mengeluarkan seluruh kemampuannya, bekerja nyaris tanpa suara (jika sedang praktek) dan hasil kerjanya sungguh brilian. Tiada yang meragukan.

Yang ku tahu,
Ayah ku seorang dengan pola hidup sehat.
Ayah tidak mengonsumsi kopi, minuman soda ataupun sirup buah-buahan. Teh pun jarang. Ia tak suka makan di luar kecuali untuk hal tertentu.
Ayah selalu menginginkan sayur dalam menunya. Olahraga sudah jadi kebiasaannya. Pikiran-pikiran positif mengalir di setiap pembuluh darahnya.
Dan, dengan bangga aku mengatakan ayahku tidak merokok. Bahkan sejak mudanya. Betapa kuat prinsipnya meski rokok bertebaran di sekitar. 
Ayah sangat jarang sakit. Seumur hidupku, hanya sekali ayah sakit hingga harus dirawat. Setelahnya? Batuk atau pilek pun entah kapan terakhir kali menyerang ayah. Semoga ayah sehat terus ya, Yah.

Yang ku tahu,
Ayahku adalah tempatku berkonsultasi dan berargumentasi dan partner belajarku.
Aku dan ayah punya kesamaan, kami gemar menonton acara televisi tentang kebudayaan / ilmu pengetahuan. Jika aku sedang menonton dan acara yang ku tonton tentang bidang yang ia geluti, ia akan bersemangat menceritakan perintilan hal tersebut. Dan pada akhirnya kami terlibat diskusi seru. Atau ia akan bertanya padaku jika ia mendapatiku tengah menonton saluran televisi internasional favoritku. Kemudian gantian aku yang menjelaskan.
Kala aku terbentur dan pikiranku buntu, jemariku mencari nomor ayah dan segera bertanya. Dengan tenang ayah akan menguraikan hal-hal yang tidak aku pahami atau apa yang harus ku lakukan. 
Ya, bidang kami memang berbeda namun dengan benang merah yang sama. :)

Yang ku tahu,
Ayah tidak pernah memanjakanku dengan harta. Beliau mengajarkanku hidup sederhana. Tidak ada hadiah jika nilaiku bagus, tidak ada pujian. Ia selalu menekankan untuk belajar demi diriku sendiri, demi masa depanku. Lalu, di sinilah aku. Hasil tempaan ayah selama bertahun-tahun.
Ayah tidak pernah mengejar jabatan tinggi. Ia percaya pada kerja keras dan dedikasi. Dan akhirnya itulah yang menghantarkannya hingga di posisi ini.

Yang ku tahu, 
Aku rindu ayah. Tak banyak waktu yang kami habiskan bersama. Bukan sepenuhnya salah ayah yang sibuk bekerja. Salahku yang memilih meninggalkan rumah sebelum aku dan ayah banyak bercerita.

Kakak sayang ayah...
:)


Bukan nama besar sekolah yang akan membuatmu cerdas. Kamu yang menentukan apa kamu mau jadi orang cerdas atau tidak. -Ayah (Medio 2004)

Biasakan diri untuk tidak terlalu sering pulang. Kelak akan susah merantau jika hanya rumah dalam pikiran. -Ayah, 2010.



ps : Ayah, bisakah aku mendapatkan seseorang seperti ayah di masa depanku kelak?
Share:

Why do I write?

Ya, pertanyaan ini baru saja terlintas sekian lama blog ini ada.

Why? Why do I write?
Ngapain sih pakai acara buat blog segala? Apa saya berbakat dalam hal ini?

Ah, jika kalian membedah setiap postingan yang saya tulis di sini, mungkin jawabannya tidak.
Saya sendiripun sadar sesadar-sadarnya tulisan saya di sini (amat) berantakan, tidak beraturan dan mungkin apa yang ingin saya sampaikan tidak bisa ditangkap dengan baik setelah membacanya.

Jika saya membaca blog teman-teman saya, jujur saja, ada terbersit rasa iri melihat permainan kata mereka. Kata-kata yang mereka tulis mengalir indah. Sungguh. Saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan saat menulisnya. Tulisan-tulisan saya tidak pantas bersanding dengan tulisan mereka. Saya kerap bertanya-tanya bagaimana mereka bisa membuat postingan sebagus itu. Bakat? Ya, bisa jadi. Beberapa kali saya membongkar mesin pencari hanya untuk mendapatkan teori menulis. Banyak sekali website yang memberi saya bantuan. Namun, pada prakteknya, saya kewalahan. Mungkin saya memang tidak berbakat. :)

Lalu, jika sudah tahu tidak berbakat, mengapa masih keukeuh menulis di tempat yang seisi dunia bisa membacanya? Latah?
Tidak, saya tidak latah. Saya membuat blog ini karena pelarian. Meski tergolong orang yang mudah meledak, sesungguhnya saya adalah orang yang sukar mengungkapkan perasaan saya yang sebenarnya melalui lisan. Saat memutuskan bergabung dengan blog, saya berharap saya bisa memindahkan kata-kata yang tertahan dalam benak keluar melalui tarian ujung jemari. Itupun sepertinya tak bisa saya ungkapkan dengan baik. Maaf. :)

Lantas, apa saya masih boleh menulis dengan alasan ini tempat saya mencurahkan isi hati saya meski saya tahu saya tidak berbakat menulis dan karya tulisan saya tidak layak?
:)

Share: