Minggu, 10 September 2017

Berhenti sejenak

Hari ini, tepat 2 minggu saya menikmati waktu istirahat yang diberikan Tuhan. Iya, 2 minggu lalu saya sempat terdampar selama 2 jam di instalasi gawat darurat sebuah rumah sakit di kota Padang. Setelah peristiwa tersebut, praktis kegiatan saya hanya diisi dengan bed rest karena meski sudah minum obat, gastritis tak kunjung membaik. Kondisi yang tidak stabil betul-betul menguras energi saya; stres, kehilangan selera makan, kehilangan 3 kg berat badan dalam 1 minggu pertama, malnutrisi, defisiensi vitamin bahkan infeksi tenggorokan. Ada malam-malam dimana saya sukar tidur karena tangan dan kaki saya kebas, perut kembung dan perih tak berkesudahan. Bahkan saya membatalkan rencana pulang saat Idul Adha. Pernah nekat ke kampus, berujung dengan rasa menyesak di dada. Iya, semua "cuma" karena gastritis.

Akhirnya kedua orang tua saya memutuskan membawa saya pulang. Saya harus ada di bawah pengawasan mereka selama 24 jam. Sebelum pulang, kami sempat menemui seorang internist dengan sub-spesialis bidang digestif. Saya pulang dengan segepok obat yang harus diminum selama beberapa hari. 

Enak dong, istirahat di rumah, dengan kondisi makanan terjamin, bisa bermanja-manja dengan orang tua? TIDAK. Itu jawaban mutlak dari saya, PADA AWALNYA.

Loh, kok?

Saya rindu kuliah, saya rindu bertemu dengan teman-teman, berbincang soal hari hingga tugas yang menumpuk. Saya rindu atmosfer semangat belajar di kampus. Ketika Ibu saya memberi ultimatum bahwa saya harus ikut beliau pulang, hati saya berontak. Ya karena masih ingin kuliah dan segila itu saya terhadap pendidikan dan ambisi saya. 

Dulu, ketika masih duduk di bangku kuliah sarjana, saya ini tergolong orang yang suka memaksakan diri. Jika sedang sakit namun masih bisa bangun dari tempat tidur, saya akan tetap ke kampus, meski badan tidak betul-betul fit. Bahkan saat skripsi dan saya mengalami kecelakaan lalu lintas, 3 hari setelah bisa berjalan, saya nekat ke kampus dengan kondisi kaki bengkak dan berjalan pincang. Pernah tidak tidur 24 jam, hipoglikemia, namun siangnya tetap ke kampus untuk ikut ujian tengah semester sembari memegang satu botol teh manis hangat. Iya, saya sekeras kepala itu. 

Lalu, setelah beberapa hari di rumah, obat sudah habis separuh, kondisi membaik. Namun belum stabil. Masih ada masa dimana saya merengek, mengeluh badan kembali tidak enak. Saya kembali harus mengatur ulang waktu kembali ke rantau karena kondisi yang belum stabil.

Sedih? Iya. 
Kenapa? Karena kembali harus menunda menghadiri kelas-kelas. Kembali menunda mimpi.

Selama beberapa hari ini, saya sempat berbincang dengan beberapa teman dekat, melepas stres, mengutarakan apa yang tersimpan dalam hati dan meminta pendapat. Terkadang juga menghabiskan waktu dengan merenung.

Hingga akhirnya...
Mungkin ini saatnya saya belajar mengalah. Belajar menurunkan ego diri, menaklukkan kerasnya ambisi. Saatnya saya belajar bahwa terkadang saya harus mengambil jeda dan berhenti sejenak untuk beristirahat sebelum kembali berlari mengejar mimpi. 
Ini saatnya saya belajar untuk mendengarkan tubuh yang selama ini saya abaikan, merawat pemberian Tuhan yang selama ini tak pernah betul-betul saya perhatikan. Sungguh seorang hamba Tuhan yang kufur nikmat.
Belajar untuk sedikit merasa "masa bodoh" dan "tidak ambil pusing" karena saya tipikal orang yang sangat pemikir dan pencemas, bahkan untuk hal remeh. Belajar untuk lebih menikmati waktu karena hidup bukan hanya untuk mengejar dan memaksa mimpi untuk terwujud. 

Kembali belajar bahwa Tuhan adalah sebaik-baiknya Pemilik Rencana. 

Jadi, disinilah saya. Memilih merelakan absen kuliah demi harta yang Tuhan berikan kepada saya yang saat ini lebih membutuhkan perhatian. 
Saya yakin, ada masanya saya kembali berlari mengejar mimpi. Segera. 





Selasa, 29 Agustus 2017

Curhat

Tahun 2017 sudah menuju akhir caturwulan ke tiga. 
Iya, saya juga baru sadar beberapa hari ini. Hehe. Jadi, apa kabar resolusi-resolusi yang dikibarkan saat awal tahun ini? Sudah berapa yang dicentang dari daftar? Apa? Belum? Yah, masih ada 3 bulan lagi tersisa. Silakan dikebut! 

Sudah masuk akhir bulan ke-8 di tahun ayam api. Bagaimana 2017 sejauh ini, Teman? Apa yang berubah? Kalau saya... Sejauh ini, di tahun ini umur saya genap seperempat abad (masih belum perlu anti aging skin care kan ya? :D ). Lalu, status pekerjaan ganti lagi jadi mahasiswi. Hehe. Alhamdulillah, puji syukur saya diberikan kesempatan untuk melanjutkan studi demi menghindari ditanya kapan menikah mengejar mimpi saya sejak dulu. Bahagia dong? Iya, Alhamdulillah.

Tapi, di atas kebahagiaan itu, saya juga menghabiskan hari-hari saya dengan perang. :')
Saya perang dengan tubuh saya sendiri. Saya berperang dengan kata "sakit" dan "obat".

Iya, 2017 ini saya habiskan dengan bolak-balik ke dokter, cek darah, membatasi aktivitas, bahkan terakhir mendarat di Instalasi Gawat Darurat untuk pertama kalinya dalam hidup saya. Minum obat sudah jadi bagian dari hari saya sejak awal tahun. Bahkan dua jam lalu saya baru saja minum sirup berwarna merah muda yang harus saya minum kalau tidak ingin kembali terbaring di tempat tidur sembari meringkuk menahan sakit. Dan, kalau saya tidak salah hitung, seminggu lagi genap 2 bulan saya menjalani regimen terapi, regimen yang terpanjang yang pernah saya jalani. Iya, separah itu tubuh saya tahun ini, terutama sejak April.

Tentu saya bahagia menjalani hari-hari, bersyukur untuk setiap pagi yang menyambut dan malam yang mengantarkan ke peraduan. Tapi saya juga tidak sekuat itu sehingga bisa terus menjaga pikiran untuk tetap tenang dan senang. Ada masa di mana saya... merasa lelah dan tertekan. Seperti sekarang. 

Saya tahu tidak sepantasnya saya mengeluh tentang kondisi yang tengah saya hadapi, bahwa masih banyak orang di luar sana yang kondisinya lebih parah daripada saya. Saya sadar kondisi saya tidak ada apa-apanya dibanding orang lain yang jangankan untuk beraktivitas ringan, untuk menarik napas saja harus berusaha dengan keras. Sangat sadar. Saya teramat sadar. 

Tapi, tolong biarkan sekali ini saja saya mengeluarkan apa yang sudah lama saya pendam. 

Sakit itu akan membuat diri stres. Minum obat secara kontinu membuat tertekan meski mindset sudah diatur dengan kata "sembuh, sembuh, pasti sembuh." It is unavoidable. Terkadang, bangun pagi dengan mood bagus, pikiran optimis. Namun ada waktunya merasa hopeless, merasa lemah, panik, bahkan terkadang ingin menyerah. Rasanya seperti menghitung detik menuju detak jantung terakhir. Ada perasaan marah kepada diri sendiri karena merasa jadi beban untuk orang di sekitar ketika tubuh tidak bisa diajak berkompromi menjalani hari, merasa kasihan dan bersalah kepada mereka yang merasa khawatir dan menghabiskan waktu mengurusi orang seperti saya. 

Di saat-saat begitu, saya tidak bisa apa-apa. Di saat pikiran penuh dan hati berkecamuk begitu, saya hanya bisa menangis. Iya, saya selalu membiarkan hal itu terjadi. Karena jika tidak, masalah akan bertambah lagi. Saya membiarkan semua pikiran negatif itu menari kemudian menyeka air mata lalu pergi tidur. Lalu saat bangun, kembali menghimpun kekuatan diri untuk kembali berjuang. 

Tidak, saya tidak menulis semua ini untuk menjadi pusat perhatian. Tapi, inilah perlarian terakhir saya. Untuk melepaskan semua perasaan negatif yang sudah semakin menghantui saya belakangan ini. 

"Makanya rajin ibadah! Ikhlas! Banyak doa sama Tuhan!"
Oh, Honey, do you really think I don't do that?" :)




Minggu, 28 Mei 2017

Utuh yang tak lagi sama

"... in case I break my promise"

Aku terpaku. Membeku. Mulutku kelu, "You... will break your promise?"

"Kamu tahu kan, Sayang, aku tidak pernah ingin ingkar janji, terpikir pun tidak. Tapi, jika jawaban Tuhan adalah tidak untuk doa kita, kita bisa apa? Aku bisa apa?"

Bodohnya aku. Aku lupa. Aku lupa bahwa Tuhan yang berkuasa. Tak lagi terpikir olehku bahwa akan selalu ada kemungkinan itu, tak peduli sekuat apapun kita berusaha, tak peduli berapa lama bermunajat pada-Nya. Kata 'pisah' tak lagi ada dalam kamus ku ketika kita saling menemukan. 

Karena,
kamulah yang menggenapiku.

Karena,
untuk pertama kalinya, aku merasa utuh

Senin, 02 Januari 2017

Hanya merasa bahagia

Selembar kertas hasil pemeriksaan lab terhampar di hadapan seorang gadis berkerudung hitam. Mata coklatnya menelusuri satu per satu parameter uji beserta hasilnya dengan teliti. Semua parameter ada di rentang normal kecuali nilai leukositnya yang memang di atas nilai normal. Itupun hanya mengindikasikan hal yang tak perlu terlalu dirisaukan. Lalu, apa yang salah dengan tubuhnya?

Si Kerudung Hitam merogoh tas ransel coklat kesayangannya, mencari ponsel untuk mencari penjelasan. Dan ia tahu siapa yang saat ini ia perlukan; Kerudung Ungu; seorang dokter sekaligus teman yang ia kenal sejak 20 tahun silam.

"Pekerjaanmu bagaimana?"tanya Kerudung Ungu begitu Kerudung Hitam selesai menguraikan masalahnya.
"Aku... Yah, kamu tahu kan kondisinya sekarang seperti apa? Tapi meskipun begitu, aku menikmatinya. Aku bahagia,"balas Kerudung Hitam.
"Aku bahagia,"tegasnya. "...Atau... aku hanya merasa aku bahagia." Kini terasa nada ragu dalam suaranya.
"Jadi yang mana?" tanya si Kerudung Ungu.

Kerudung hitam terpekur sesaat.
"Aku hanya merasa aku bahagia."