Sabtu, 18 April 2020

Awal mula...

Beberapa hari sebelum Agustus 2017 berakhir, pagi itu, sarapan beberapa keping biskuit sebelum pergi olahraga pagi dengan seorang teman baik. Tidak ada apa-apa, kami hanya berjalan berkeliling GOR sampai berkeringat, sembari bercerita dan tertawa. Sampai saya mengeluh haus. Singgah sebentar membeli minum. Lalu, sahabat saya mengajak sarapan, yang segera saya setujui. Tak butuh waktu lama, sepiring sate padang terhidang.

Potongan lontong itu belum lah sampai ke dalam mulut, karena sendok terhenti di udara sebelum akhirnya kembali mendarat ke piring. Tubuh saya mendadak gemetaran, dan pandangan buram. Sesuatu yang saya kenali sebagai hipoglikemia. 
"Bisa belikan saya teh manis?" ujar saya pelan kepada teman saya. Senyum tetap ada, namun saya sadar, saya pasti sudah pucat. Sadar ada sesuatu yang salah, ia segera berlari membeli teh manis hangat. Sedang saya meminum obat karena pada saat yang sama, gastritis saya kumat. 
Saya ingat, saya masih sempat menelpon ayah dan tertawa menceritakan kondisi. Namun, ketika telpon terputus, saya merasa kosong. Tubuh saya kian melemah, perut semakin berkecamuk. Hingga akhirnya...

Saya mendarat di IGD rumah sakit terbesar di kota itu, sembari membawa segelas teh hangat kedua (yang pertama diminum di tempat makan). Dua jam dalam observasi, dinyatakan tidak perlu rawat, maka pulang. Sate padang tadi? Tak sempat mencicipi nikmatnya. Bahkan, setiap kali makanan masuk, saya harus berjuang menahan rasa mual yang teramat.

Maka, dimulailah perjalanan... Kunjungan IGD pertama berlanjut dengan dua kali kunjungan ke IGD RS pendidikan kampus. Bahkan yang terakhir, berakhir dengan selang oksigen di kedua lubang hidung karena kesulitan bernapas, yang membuat seorang sahabat yang bekerja di sana terbirit-birit berlari ke ruang observasi karena membaca pesan saya. 

Sejak saat itu, hidup saya berubah. 
Saya yang terbiasa berlari, menjadi lamban. Jangankan untuk berjalan, berdiri saja saya tidak kuat jika lebih dari lima menit. Jika saya paksakan, maka akan mual dan pusing luar biasa.
Sejak saat itu, obat dan cemilan harus ada dalam tas. 
Sejak saat itu, makanan saya menjadi hambar dan menyedihkan.
Sejak saat itu, saya takut rasa lapar datang. Saya takut terlambat makan. 
Sejak saat itu, tidur saya tak pernah nyenyak. Tak lagi saya nikmati hidup. Tak ada relaksasi, sekadar nonton film di bioskop, atau nongkrong di kafe. 
Tiada lagi olahraga karena terlalu banyak bergerak akan membuat saya meringkuk menahan sakit di perut.

Berapa lama? Berbulan-bulan saya habiskan hidup dengan cara begitu. 
Pelan namun pasti, saya kembali menguat. 
Perlahan, saya sudah bisa berlari kecil. Berdiri lama tak lagi jadi hambatan. 
Piring saya kembali penuh warna.
Kualitas tidur membaik.
Bioskop dan kafe? Oke.

Tetapi, hidup tak pernah lagi sama...

Ada trauma tersisa.

Meski untuk kali ini, bercerita tak lagi membuat saya menahan sakit dan menangis.

:)

2 komentar: