Senin, 06 Agustus 2018

Rasa...

"Boleh nanya ga?"
"Apa?"
"Apa masih terasa?"
"Apanya?"
"Rasa yang dituangkan dalam tulisannya?"
...

Entah apa yang harus saya jawab saat pertanyaan itu muncul di tengah percakapan ringan malam ini dengan seorang teman. Dua hari lalu, seorang teman lama juga bertanya mengapa saya tidak lagi aktif menulis di blog. Berbulan-bulan sebelumnya, saya merasa ada yang hilang dari diri, sesuatu yang penting.

If I don't write to empty my mind, I go mad.

Kalimat dari seorang Lord Byron yang saya temukan beberapa tahun lalu ini saya amini dengan sangat. Sebagai seorang yang menjadikan menulis sebagai sarana pengosong pikiran dan pelarian dari rutinitas hari-hari yang terkadang menjemukan, dan tempat mencurahkan perasaan, menulis adalah hal yang sangat berharga yang tidak bisa dilepaskan dari diri. Sayangnya, setelah serentetan hal yang betul-betul menguras fisik dan emosi hingga ke titik terendah, menulis justru menjadi hal yang sulit.

Kembali ke pertanyaan yang diajukan oleh teman tadi.
Somehow, deep inside, that feeling is still there, it waits to be freed one more time. Tulisan ini adalah tulisan pertama setelah hampir setahun menghilang dari dunia. Rasa itu masih ada, masih di sana, meringkuk dalam muram sendirian. Mungkin sembari mengumpulkan fragmen memori dan pecahan emosi yang berjatuhan, yang (entah sengaja atau tidak) diabaikan untuk dikeluarkan ketika ia bebas kelak. Sesekali ia akan meraung marah, frustasi tidak dibiarkan bebas dari tembok tebal bernama trauma dan kegelapan bergelar ketakutan. Saat itu terjadi, saya tidak tahu harus berbuat apa merasa tidak berdaya untuk melawan meski sangat ingin menulis. Akhirnya bisa ditebak: halaman putih kosong, kuota internet yang terbuang sia-sia, atau kertas bernuansa pastel dan pena tinta hitam dibiarkan tergeletak di hadapan, sedang saya hanya menghela napas panjang, menelan kekalahan.






Cepatlah, In,