Minggu, 19 April 2020

Semua butuh waktu?



Sekitar enam tahun yang lalu, kecelakaan lalu lintas membuat saya mengalami dua dislokasi sendi pada kaki kanan, memaksa saya harus duduk diam selama 12 hari, dan melompat dengan satu kaki jika diharuskan berpindah tempat, seperti makhluk monopod di film The Chronicles of Narnia.
Dan, itulah asal mula saya berteman baik dengan dua benda di atas; perban elastis dan ankle support. Pemulihan pasca cedera semacam itu ternyata lama dan.... menyakitkan. Saya harus ekstra hati-hati ketika melangkah. Terpleset sedikit, maka nyeri akan timbul kembali. Mungkin salah saya juga, memaksakan diri untuk kembali beraktivitas saat tubuh masih sakit-sakitnya. Akibatnya, pulih butuh waktu lama. Meski sudah lama berlalu, pergelangan kaki saya terkadang masih sering nyeri, apalagi saya ini clumsy, sering tersandung bahkan di jalan datar. Bahkan, setahun lalu, saya masih ke kampus dengan kaki dibalut perban.

Lalu...
Setahun ini... Dua benda itu tak lagi pernah menyentuh kulit saya. Tak peduli saya masih sering terpleset atau terlalu banyak berjalan. Sesuatu yang baru saya sadari beberapa waktu belakangan ini. Rasa tidak nyaman terkadang ada, namun tak lagi mengganggu, bahkan tidak terlalu terasa.

Does time really heal everything?

Entahlah... Mungkin memang waktu menyembuhkan semua, atau, semua butuh waktu?

Saya kira, waktu tidak menyembuhkan. Namun, semua butuh waktu untuk sembuh dan kembali seperti sedia kala.

Hmm...

Bukankah hati pun begitu? Setelah sebuah perjalanan yang berakhir tidak menyenangkan, bahkan menyisakan luka yang dalam, butuh waktu untuk benar-benar pulih. Mungkin butuh waktu lama, namun, ia akan pulih, meski tak lagi sempurna. Percayalah, akan ada masanya ketika menoleh kembali ke belakang, kita bisa tersenyum lantas kemudian melanjutkan langkah.

Berapa lama? Tiada yang tahu. Sebulan? Dua bulan? Setahun? Atau lebih? Biarkan saja. Tidak semudah itu memaafkan dengan tulus, melepaskan dan melupakan. Memaksa diri untuk sembuh tidak akan membantu.

Biarkan saja ia mengalir bersama waktu. Kelak, ketika waktunya tiba, hatimu akan terasa jauh lebih ringan. Saat itulah, kau tahu bahwa kau telah pulih dan siap untuk kembali melangkah.

Sabtu, 18 April 2020

Berganti Pintu

Dulu, duluuuuu sekali, sekitar 10 tahun lalu, ketika saya baru duduk di bangku kuliah, saya pernah menulis di secarik kertas yang sayangnya tidak ada dokumentasi resminya. Tapi isinya begini:

2010-2014 Kuliah S1
2014-2015 Profesi
2016-2018 Kuliah S2

Kuliah sarjana baru masuk, tapi perempuan keras kepala ini sudah bikin target S2. Hahaha. Entah apa yang ada di kepala saya saat itu. Mungkin masih berpikir bahwa kuliah itu enak, gampang. Ternyata kuliah farmasi hanya enak untuk diucapkan. Perjalanannya? ya begitulah... hahaha.

Singkat cerita, 2014 saya wisuda sarjana.  Alhamdulillah.
Empat bulan setelah wisuda sarjana, kuliah profesi-yang hingga kini mottonya tetap saya pegang, "indah untuk dikenang, tidak untuk diulang"-dimulai, dan segala drama dan keribetannya selalu jadi penguat saya (dan teman-teman pascasarjana lain) "Kalau kuliah profesi yang begitu bisa dilewati, maka yang ini pasti bisa dilewati." Mengapa? karena memang kuliah profesi jauuuuh lebih berat daripada kuliah pasca sekarang.

Setahun setelahnya, 2015, wisuda profesi! Gelar profesi jadi penutup tahun 2015 yang manis. Alhamdulillah, masih sesuai rencana. Sebelum wisuda, saya sudah kode orang tua bahwa saya ingin S2. Belum dikabulkan. Dua ribu enam belas awal, saya masih merengek ingin S2. Namun, masih sama, malah disarankan bekerja. Akhirnya, tengah tahun, saya bekerja. Tapi sekolah masih jelas terbayang di benak. Akhir 2016, lampu hijau untuk lanjut sekolah menyala. Saya langsung tancap gas. Juli 2017, saya resmi tercatat sebagai mahasiswi pasca sarjana farmasi sains. Bukan main bahagia kembali merasakan atmosfer kampus.
Meleset sedikit dari target saya. Tapi tak apa, yang penting saya kembali sekolah demi mengejar mimpi. 

Lalu,
keinginan lain perempuan sok kuat ini makin kuat. Loh? Iya. Di dalam daftar target saya itu, ada satu target lagi yang menurut saya tidak begitu penting: menikah.
Di saat sebaya saya ingin menikah, sibuk mengurus perintilan pernikahan, atau malah ada yang sudah mengurusi anak, si aneh ini malah makin ingin sekolah. Maka tekad masa SMA untuk menikah di akhir usia 20-an, diperkuat dengan SELESAIKAN S2 DAN PUNYA KARIR YANG JELAS, BARU MENIKAH" yang hingga hari ini masih saya pegang dengan teguh. Terlebih setelah putus dari mas mantan pacar dan orang tua yang selalu bilang ke orang-orang, "Indahnya masih sekolah. Nanti aja nikahnya," saya merasa jalan saya makin lapang.
Kemudian, rencana bertambah satu lagi: Doktoral harus dimulai sebelum usia 35. Jadi, pertanyaan pertama saya pada (bakal) calon suami adalah: apakah saya diizinkan sekolah lagi? Kalau boleh, maka kita bisa melanjutkan pembicaraan. Jika tidak, I am sorry, goodbye. Iya, se-saklek itu.

Iya, perempuan ini ketagihan sekolah. Ditambah dengan akses doktoral yang (saat itu) sudah di depan mata, ketagihannya semakin menjadi-jadi. Senang bukan kepalang ketika ada kesempatan bisa lanjut doktoral dalam waktu dekat. Makin semangat untuk lulus S2 sesegera mungkin. Menikah? Apa itu menikah? Yang ada di kepala perempuan galak ini hanya buku, diskusi ilmiah dan belajar (plus takoyaki dan kebab).

Mungkin Tuhan jengah melihat hamba-Nya yang satu ini hanya mementingkan ambisi, atau orang tua yang mulai khawatir terhadap adiksi sang anak yang mulai di luar kontrol, maka... ditariklah ia ke dunia nyata.

Ia dipaksa pulang oleh keadaan. Keadaan yang sama sekali tak ia suka, pun harapkan. Terbersitpun tidak. Ia ditarik dari pintu yang menuju mimpinya ke pintu lain yang sangat asing baginya. Maka, tinggallah mimpinya di belakang. Tergantikan dengan keharusan menjalankan peran sesuai sumpahnya pada Tuhan 5 tahun silam.

Maka, tinggallah tulisan di awal itu sebagai kenangan. Tuhan memilihkan jalan lain untuk saya, untuk mengingatkan saya bahwasanya Ia adalah yang Maha Mengetahui seluruh semesta dan sebaik-baiknya Pemilik Rencana..
Bukan hal yang mudah untuk menerima. 

Apakah saya memilih melupakan semua mimpi lantas menikmati hidup saat ini? Tidak. Saya masih di sini, masih dengan mimpi yang sama, namun dengan strategi yang berbeda. Lebih berat? Iya. Hanya saja, saya sungguh terlalu keras kepala dan arogan untuk menikmati hidup yang kata orang-orang (kata orang-orang loh ya, bukan opini pribadi saya) sudah berhasil, sudah "jadi orang".Tidak, saya tidak mau, karena definisi saya tentang "berhasil" dan "jadi orang" berbeda dari kebanyakan. Sungguh menambah catatan anomali saya.

Tulisan di awal mungkin tidak akan terwujud semua sesuai harapan. Tak apa, yang Tuhan berikan adalah anugerah yang patut disyukuri (dan memang saya syukuri dengan sangat). Pelajaran juga untuk saya, agar selalu siap terhadap perubahan.

I'll be there, someday.

Awal mula...

Beberapa hari sebelum Agustus 2017 berakhir, pagi itu, sarapan beberapa keping biskuit sebelum pergi olahraga pagi dengan seorang teman baik. Tidak ada apa-apa, kami hanya berjalan berkeliling GOR sampai berkeringat, sembari bercerita dan tertawa. Sampai saya mengeluh haus. Singgah sebentar membeli minum. Lalu, sahabat saya mengajak sarapan, yang segera saya setujui. Tak butuh waktu lama, sepiring sate padang terhidang.

Potongan lontong itu belum lah sampai ke dalam mulut, karena sendok terhenti di udara sebelum akhirnya kembali mendarat ke piring. Tubuh saya mendadak gemetaran, dan pandangan buram. Sesuatu yang saya kenali sebagai hipoglikemia. 
"Bisa belikan saya teh manis?" ujar saya pelan kepada teman saya. Senyum tetap ada, namun saya sadar, saya pasti sudah pucat. Sadar ada sesuatu yang salah, ia segera berlari membeli teh manis hangat. Sedang saya meminum obat karena pada saat yang sama, gastritis saya kumat. 
Saya ingat, saya masih sempat menelpon ayah dan tertawa menceritakan kondisi. Namun, ketika telpon terputus, saya merasa kosong. Tubuh saya kian melemah, perut semakin berkecamuk. Hingga akhirnya...

Saya mendarat di IGD rumah sakit terbesar di kota itu, sembari membawa segelas teh hangat kedua (yang pertama diminum di tempat makan). Dua jam dalam observasi, dinyatakan tidak perlu rawat, maka pulang. Sate padang tadi? Tak sempat mencicipi nikmatnya. Bahkan, setiap kali makanan masuk, saya harus berjuang menahan rasa mual yang teramat.

Maka, dimulailah perjalanan... Kunjungan IGD pertama berlanjut dengan dua kali kunjungan ke IGD RS pendidikan kampus. Bahkan yang terakhir, berakhir dengan selang oksigen di kedua lubang hidung karena kesulitan bernapas, yang membuat seorang sahabat yang bekerja di sana terbirit-birit berlari ke ruang observasi karena membaca pesan saya. 

Sejak saat itu, hidup saya berubah. 
Saya yang terbiasa berlari, menjadi lamban. Jangankan untuk berjalan, berdiri saja saya tidak kuat jika lebih dari lima menit. Jika saya paksakan, maka akan mual dan pusing luar biasa.
Sejak saat itu, obat dan cemilan harus ada dalam tas. 
Sejak saat itu, makanan saya menjadi hambar dan menyedihkan.
Sejak saat itu, saya takut rasa lapar datang. Saya takut terlambat makan. 
Sejak saat itu, tidur saya tak pernah nyenyak. Tak lagi saya nikmati hidup. Tak ada relaksasi, sekadar nonton film di bioskop, atau nongkrong di kafe. 
Tiada lagi olahraga karena terlalu banyak bergerak akan membuat saya meringkuk menahan sakit di perut.

Berapa lama? Berbulan-bulan saya habiskan hidup dengan cara begitu. 
Pelan namun pasti, saya kembali menguat. 
Perlahan, saya sudah bisa berlari kecil. Berdiri lama tak lagi jadi hambatan. 
Piring saya kembali penuh warna.
Kualitas tidur membaik.
Bioskop dan kafe? Oke.

Tetapi, hidup tak pernah lagi sama...

Ada trauma tersisa.

Meski untuk kali ini, bercerita tak lagi membuat saya menahan sakit dan menangis.

:)