Sabtu, 18 April 2020

Berganti Pintu

Dulu, duluuuuu sekali, sekitar 10 tahun lalu, ketika saya baru duduk di bangku kuliah, saya pernah menulis di secarik kertas yang sayangnya tidak ada dokumentasi resminya. Tapi isinya begini:

2010-2014 Kuliah S1
2014-2015 Profesi
2016-2018 Kuliah S2

Kuliah sarjana baru masuk, tapi perempuan keras kepala ini sudah bikin target S2. Hahaha. Entah apa yang ada di kepala saya saat itu. Mungkin masih berpikir bahwa kuliah itu enak, gampang. Ternyata kuliah farmasi hanya enak untuk diucapkan. Perjalanannya? ya begitulah... hahaha.

Singkat cerita, 2014 saya wisuda sarjana.  Alhamdulillah.
Empat bulan setelah wisuda sarjana, kuliah profesi-yang hingga kini mottonya tetap saya pegang, "indah untuk dikenang, tidak untuk diulang"-dimulai, dan segala drama dan keribetannya selalu jadi penguat saya (dan teman-teman pascasarjana lain) "Kalau kuliah profesi yang begitu bisa dilewati, maka yang ini pasti bisa dilewati." Mengapa? karena memang kuliah profesi jauuuuh lebih berat daripada kuliah pasca sekarang.

Setahun setelahnya, 2015, wisuda profesi! Gelar profesi jadi penutup tahun 2015 yang manis. Alhamdulillah, masih sesuai rencana. Sebelum wisuda, saya sudah kode orang tua bahwa saya ingin S2. Belum dikabulkan. Dua ribu enam belas awal, saya masih merengek ingin S2. Namun, masih sama, malah disarankan bekerja. Akhirnya, tengah tahun, saya bekerja. Tapi sekolah masih jelas terbayang di benak. Akhir 2016, lampu hijau untuk lanjut sekolah menyala. Saya langsung tancap gas. Juli 2017, saya resmi tercatat sebagai mahasiswi pasca sarjana farmasi sains. Bukan main bahagia kembali merasakan atmosfer kampus.
Meleset sedikit dari target saya. Tapi tak apa, yang penting saya kembali sekolah demi mengejar mimpi. 

Lalu,
keinginan lain perempuan sok kuat ini makin kuat. Loh? Iya. Di dalam daftar target saya itu, ada satu target lagi yang menurut saya tidak begitu penting: menikah.
Di saat sebaya saya ingin menikah, sibuk mengurus perintilan pernikahan, atau malah ada yang sudah mengurusi anak, si aneh ini malah makin ingin sekolah. Maka tekad masa SMA untuk menikah di akhir usia 20-an, diperkuat dengan SELESAIKAN S2 DAN PUNYA KARIR YANG JELAS, BARU MENIKAH" yang hingga hari ini masih saya pegang dengan teguh. Terlebih setelah putus dari mas mantan pacar dan orang tua yang selalu bilang ke orang-orang, "Indahnya masih sekolah. Nanti aja nikahnya," saya merasa jalan saya makin lapang.
Kemudian, rencana bertambah satu lagi: Doktoral harus dimulai sebelum usia 35. Jadi, pertanyaan pertama saya pada (bakal) calon suami adalah: apakah saya diizinkan sekolah lagi? Kalau boleh, maka kita bisa melanjutkan pembicaraan. Jika tidak, I am sorry, goodbye. Iya, se-saklek itu.

Iya, perempuan ini ketagihan sekolah. Ditambah dengan akses doktoral yang (saat itu) sudah di depan mata, ketagihannya semakin menjadi-jadi. Senang bukan kepalang ketika ada kesempatan bisa lanjut doktoral dalam waktu dekat. Makin semangat untuk lulus S2 sesegera mungkin. Menikah? Apa itu menikah? Yang ada di kepala perempuan galak ini hanya buku, diskusi ilmiah dan belajar (plus takoyaki dan kebab).

Mungkin Tuhan jengah melihat hamba-Nya yang satu ini hanya mementingkan ambisi, atau orang tua yang mulai khawatir terhadap adiksi sang anak yang mulai di luar kontrol, maka... ditariklah ia ke dunia nyata.

Ia dipaksa pulang oleh keadaan. Keadaan yang sama sekali tak ia suka, pun harapkan. Terbersitpun tidak. Ia ditarik dari pintu yang menuju mimpinya ke pintu lain yang sangat asing baginya. Maka, tinggallah mimpinya di belakang. Tergantikan dengan keharusan menjalankan peran sesuai sumpahnya pada Tuhan 5 tahun silam.

Maka, tinggallah tulisan di awal itu sebagai kenangan. Tuhan memilihkan jalan lain untuk saya, untuk mengingatkan saya bahwasanya Ia adalah yang Maha Mengetahui seluruh semesta dan sebaik-baiknya Pemilik Rencana..
Bukan hal yang mudah untuk menerima. 

Apakah saya memilih melupakan semua mimpi lantas menikmati hidup saat ini? Tidak. Saya masih di sini, masih dengan mimpi yang sama, namun dengan strategi yang berbeda. Lebih berat? Iya. Hanya saja, saya sungguh terlalu keras kepala dan arogan untuk menikmati hidup yang kata orang-orang (kata orang-orang loh ya, bukan opini pribadi saya) sudah berhasil, sudah "jadi orang".Tidak, saya tidak mau, karena definisi saya tentang "berhasil" dan "jadi orang" berbeda dari kebanyakan. Sungguh menambah catatan anomali saya.

Tulisan di awal mungkin tidak akan terwujud semua sesuai harapan. Tak apa, yang Tuhan berikan adalah anugerah yang patut disyukuri (dan memang saya syukuri dengan sangat). Pelajaran juga untuk saya, agar selalu siap terhadap perubahan.

I'll be there, someday.
Share:

Awal mula...

Beberapa hari sebelum Agustus 2017 berakhir, pagi itu, sarapan beberapa keping biskuit sebelum pergi olahraga pagi dengan seorang teman baik. Tidak ada apa-apa, kami hanya berjalan berkeliling GOR sampai berkeringat, sembari bercerita dan tertawa. Sampai saya mengeluh haus. Singgah sebentar membeli minum. Lalu, sahabat saya mengajak sarapan, yang segera saya setujui. Tak butuh waktu lama, sepiring sate padang terhidang.

Potongan lontong itu belum lah sampai ke dalam mulut, karena sendok terhenti di udara sebelum akhirnya kembali mendarat ke piring. Tubuh saya mendadak gemetaran, dan pandangan buram. Sesuatu yang saya kenali sebagai hipoglikemia. 
"Bisa belikan saya teh manis?" ujar saya pelan kepada teman saya. Senyum tetap ada, namun saya sadar, saya pasti sudah pucat. Sadar ada sesuatu yang salah, ia segera berlari membeli teh manis hangat. Sedang saya meminum obat karena pada saat yang sama, gastritis saya kumat. 
Saya ingat, saya masih sempat menelpon ayah dan tertawa menceritakan kondisi. Namun, ketika telpon terputus, saya merasa kosong. Tubuh saya kian melemah, perut semakin berkecamuk. Hingga akhirnya...

Saya mendarat di IGD rumah sakit terbesar di kota itu, sembari membawa segelas teh hangat kedua (yang pertama diminum di tempat makan). Dua jam dalam observasi, dinyatakan tidak perlu rawat, maka pulang. Sate padang tadi? Tak sempat mencicipi nikmatnya. Bahkan, setiap kali makanan masuk, saya harus berjuang menahan rasa mual yang teramat.

Maka, dimulailah perjalanan... Kunjungan IGD pertama berlanjut dengan dua kali kunjungan ke IGD RS pendidikan kampus. Bahkan yang terakhir, berakhir dengan selang oksigen di kedua lubang hidung karena kesulitan bernapas, yang membuat seorang sahabat yang bekerja di sana terbirit-birit berlari ke ruang observasi karena membaca pesan saya. 

Sejak saat itu, hidup saya berubah. 
Saya yang terbiasa berlari, menjadi lamban. Jangankan untuk berjalan, berdiri saja saya tidak kuat jika lebih dari lima menit. Jika saya paksakan, maka akan mual dan pusing luar biasa.
Sejak saat itu, obat dan cemilan harus ada dalam tas. 
Sejak saat itu, makanan saya menjadi hambar dan menyedihkan.
Sejak saat itu, saya takut rasa lapar datang. Saya takut terlambat makan. 
Sejak saat itu, tidur saya tak pernah nyenyak. Tak lagi saya nikmati hidup. Tak ada relaksasi, sekadar nonton film di bioskop, atau nongkrong di kafe. 
Tiada lagi olahraga karena terlalu banyak bergerak akan membuat saya meringkuk menahan sakit di perut.

Berapa lama? Berbulan-bulan saya habiskan hidup dengan cara begitu. 
Pelan namun pasti, saya kembali menguat. 
Perlahan, saya sudah bisa berlari kecil. Berdiri lama tak lagi jadi hambatan. 
Piring saya kembali penuh warna.
Kualitas tidur membaik.
Bioskop dan kafe? Oke.

Tetapi, hidup tak pernah lagi sama...

Ada trauma tersisa.

Meski untuk kali ini, bercerita tak lagi membuat saya menahan sakit dan menangis.

:)
Share:

Sabtu, 17 Agustus 2019

Dua puluh enam dalam rangkuman

Dua puluh enam,
adalah tentang kembali berdiri dan melangkah setelah dihempas angin,

Dua puluh enam,
adalah tentang berperang melawan hitam di dalam diri,
 
Dua puluh enam,
adalah tentang menikmati hangatnya sinar matahari setelah badai,

Dua puluh enam,
adalah tentang menghargai dan semakin mencintai mereka yang tetap tinggal meski memiliki pilihan untuk meninggalkan,

Dua puluh enam,
adalah tentang membangun tangga menuju mimpi hingga tinggal sejengkal,
kemudian merelakan ia terbang menjauh dari genggaman, 

Dua puluh enam,
adalah tentang menerima bahwa jalan yang berubah belum tentu berujung pada tujuan yang berbeda, namun jelas menawarkan petualangan yang tidak disangka dan tak kalah hebat,

Dua puluh enam,
adalah tentang belajar mencintai diri sendiri beserta luka dan jejaknya,
belajar bahwa tetap waras adalah krusial, tidak bisa ditawar

Dan,
Di dua puluh enam ini,
langkah terasa jauh lebih ringan, meski masih banyak hal yang harus dikejar,
dan peta hidup yang diatur ulang,

Namun, hitam yang memudar adalah hal yang patut dirayakan,
tidak perlu semarak, cukup dengan secangkir teh bunga kamomil dan serial Sherlock atau musik instrumental,

Lalu setelahnya,
Ayo bersiap untuk petualangan dua puluh tujuh!



Share:

Senin, 04 Februari 2019

Tanpa jawaban, tanpa penjelasan

"Aku hanya ingin kau jawab satu, hanya satu pertanyaan terakhirku, mengapa?"
Hening.
Lagi-lagi tiada jawaban.
Kau selalu diam.
Kau tahu, diam darimu justru kian memperdalam luka.
"Mengapa?"
Masih hening.
Lalu,
kau berjalan menjauh.
Lantas menghilang.
Tanpa jawaban,
tanpa penjelasan.
Share:

Senin, 06 Agustus 2018

Rasa...

"Boleh nanya ga?"
"Apa?"
"Apa masih terasa?"
"Apanya?"
"Rasa yang dituangkan dalam tulisannya?"
...

Entah apa yang harus saya jawab saat pertanyaan itu muncul di tengah percakapan ringan malam ini dengan seorang teman. Dua hari lalu, seorang teman lama juga bertanya mengapa saya tidak lagi aktif menulis di blog. Berbulan-bulan sebelumnya, saya merasa ada yang hilang dari diri, sesuatu yang penting.

If I don't write to empty my mind, I go mad.

Kalimat dari seorang Lord Byron yang saya temukan beberapa tahun lalu ini saya amini dengan sangat. Sebagai seorang yang menjadikan menulis sebagai sarana pengosong pikiran dan pelarian dari rutinitas hari-hari yang terkadang menjemukan, dan tempat mencurahkan perasaan, menulis adalah hal yang sangat berharga yang tidak bisa dilepaskan dari diri. Sayangnya, setelah serentetan hal yang betul-betul menguras fisik dan emosi hingga ke titik terendah, menulis justru menjadi hal yang sulit.

Kembali ke pertanyaan yang diajukan oleh teman tadi.
Somehow, deep inside, that feeling is still there, it waits to be freed one more time. Tulisan ini adalah tulisan pertama setelah hampir setahun menghilang dari dunia. Rasa itu masih ada, masih di sana, meringkuk dalam muram sendirian. Mungkin sembari mengumpulkan fragmen memori dan pecahan emosi yang berjatuhan, yang (entah sengaja atau tidak) diabaikan untuk dikeluarkan ketika ia bebas kelak. Sesekali ia akan meraung marah, frustasi tidak dibiarkan bebas dari tembok tebal bernama trauma dan kegelapan bergelar ketakutan. Saat itu terjadi, saya tidak tahu harus berbuat apa merasa tidak berdaya untuk melawan meski sangat ingin menulis. Akhirnya bisa ditebak: halaman putih kosong, kuota internet yang terbuang sia-sia, atau kertas bernuansa pastel dan pena tinta hitam dibiarkan tergeletak di hadapan, sedang saya hanya menghela napas panjang, menelan kekalahan.






Cepatlah, In, 

Share:

Minggu, 10 September 2017

Berhenti sejenak

Hari ini, tepat 2 minggu saya menikmati waktu istirahat yang diberikan Tuhan. Iya, 2 minggu lalu saya sempat terdampar selama 2 jam di instalasi gawat darurat sebuah rumah sakit di kota Padang. Setelah peristiwa tersebut, praktis kegiatan saya hanya diisi dengan bed rest karena meski sudah minum obat, gastritis tak kunjung membaik. Kondisi yang tidak stabil betul-betul menguras energi saya; stres, kehilangan selera makan, kehilangan 3 kg berat badan dalam 1 minggu pertama, malnutrisi, defisiensi vitamin bahkan infeksi tenggorokan. Ada malam-malam dimana saya sukar tidur karena tangan dan kaki saya kebas, perut kembung dan perih tak berkesudahan. Bahkan saya membatalkan rencana pulang saat Idul Adha. Pernah nekat ke kampus, berujung dengan rasa menyesak di dada. Iya, semua "cuma" karena gastritis.

Akhirnya kedua orang tua saya memutuskan membawa saya pulang. Saya harus ada di bawah pengawasan mereka selama 24 jam. Sebelum pulang, kami sempat menemui seorang internist dengan sub-spesialis bidang digestif. Saya pulang dengan segepok obat yang harus diminum selama beberapa hari. 

Enak dong, istirahat di rumah, dengan kondisi makanan terjamin, bisa bermanja-manja dengan orang tua? TIDAK. Itu jawaban mutlak dari saya, PADA AWALNYA.

Loh, kok?

Saya rindu kuliah, saya rindu bertemu dengan teman-teman, berbincang soal hari hingga tugas yang menumpuk. Saya rindu atmosfer semangat belajar di kampus. Ketika Ibu saya memberi ultimatum bahwa saya harus ikut beliau pulang, hati saya berontak. Ya karena masih ingin kuliah dan segila itu saya terhadap pendidikan dan ambisi saya. 

Dulu, ketika masih duduk di bangku kuliah sarjana, saya ini tergolong orang yang suka memaksakan diri. Jika sedang sakit namun masih bisa bangun dari tempat tidur, saya akan tetap ke kampus, meski badan tidak betul-betul fit. Bahkan saat skripsi dan saya mengalami kecelakaan lalu lintas, 3 hari setelah bisa berjalan, saya nekat ke kampus dengan kondisi kaki bengkak dan berjalan pincang. Pernah tidak tidur 24 jam, hipoglikemia, namun siangnya tetap ke kampus untuk ikut ujian tengah semester sembari memegang satu botol teh manis hangat. Iya, saya sekeras kepala itu. 

Lalu, setelah beberapa hari di rumah, obat sudah habis separuh, kondisi membaik. Namun belum stabil. Masih ada masa dimana saya merengek, mengeluh badan kembali tidak enak. Saya kembali harus mengatur ulang waktu kembali ke rantau karena kondisi yang belum stabil.

Sedih? Iya. 
Kenapa? Karena kembali harus menunda menghadiri kelas-kelas. Kembali menunda mimpi.

Selama beberapa hari ini, saya sempat berbincang dengan beberapa teman dekat, melepas stres, mengutarakan apa yang tersimpan dalam hati dan meminta pendapat. Terkadang juga menghabiskan waktu dengan merenung.

Hingga akhirnya...
Mungkin ini saatnya saya belajar mengalah. Belajar menurunkan ego diri, menaklukkan kerasnya ambisi. Saatnya saya belajar bahwa terkadang saya harus mengambil jeda dan berhenti sejenak untuk beristirahat sebelum kembali berlari mengejar mimpi. 
Ini saatnya saya belajar untuk mendengarkan tubuh yang selama ini saya abaikan, merawat pemberian Tuhan yang selama ini tak pernah betul-betul saya perhatikan. Sungguh seorang hamba Tuhan yang kufur nikmat.
Belajar untuk sedikit merasa "masa bodoh" dan "tidak ambil pusing" karena saya tipikal orang yang sangat pemikir dan pencemas, bahkan untuk hal remeh. Belajar untuk lebih menikmati waktu karena hidup bukan hanya untuk mengejar dan memaksa mimpi untuk terwujud. 

Kembali belajar bahwa Tuhan adalah sebaik-baiknya Pemilik Rencana. 

Jadi, disinilah saya. Memilih merelakan absen kuliah demi harta yang Tuhan berikan kepada saya yang saat ini lebih membutuhkan perhatian. 
Saya yakin, ada masanya saya kembali berlari mengejar mimpi. Segera. 





Share:

Selasa, 29 Agustus 2017

Curhat

Tahun 2017 sudah menuju akhir caturwulan ke tiga. 
Iya, saya juga baru sadar beberapa hari ini. Hehe. Jadi, apa kabar resolusi-resolusi yang dikibarkan saat awal tahun ini? Sudah berapa yang dicentang dari daftar? Apa? Belum? Yah, masih ada 3 bulan lagi tersisa. Silakan dikebut! 

Sudah masuk akhir bulan ke-8 di tahun ayam api. Bagaimana 2017 sejauh ini, Teman? Apa yang berubah? Kalau saya... Sejauh ini, di tahun ini umur saya genap seperempat abad (masih belum perlu anti aging skin care kan ya? :D ). Lalu, status pekerjaan ganti lagi jadi mahasiswi. Hehe. Alhamdulillah, puji syukur saya diberikan kesempatan untuk melanjutkan studi demi menghindari ditanya kapan menikah mengejar mimpi saya sejak dulu. Bahagia dong? Iya, Alhamdulillah.

Tapi, di atas kebahagiaan itu, saya juga menghabiskan hari-hari saya dengan perang. :')
Saya perang dengan tubuh saya sendiri. Saya berperang dengan kata "sakit" dan "obat".

Iya, 2017 ini saya habiskan dengan bolak-balik ke dokter, cek darah, membatasi aktivitas, bahkan terakhir mendarat di Instalasi Gawat Darurat untuk pertama kalinya dalam hidup saya. Minum obat sudah jadi bagian dari hari saya sejak awal tahun. Bahkan dua jam lalu saya baru saja minum sirup berwarna merah muda yang harus saya minum kalau tidak ingin kembali terbaring di tempat tidur sembari meringkuk menahan sakit. Dan, kalau saya tidak salah hitung, seminggu lagi genap 2 bulan saya menjalani regimen terapi, regimen yang terpanjang yang pernah saya jalani. Iya, separah itu tubuh saya tahun ini, terutama sejak April.

Tentu saya bahagia menjalani hari-hari, bersyukur untuk setiap pagi yang menyambut dan malam yang mengantarkan ke peraduan. Tapi saya juga tidak sekuat itu sehingga bisa terus menjaga pikiran untuk tetap tenang dan senang. Ada masa di mana saya... merasa lelah dan tertekan. Seperti sekarang. 

Saya tahu tidak sepantasnya saya mengeluh tentang kondisi yang tengah saya hadapi, bahwa masih banyak orang di luar sana yang kondisinya lebih parah daripada saya. Saya sadar kondisi saya tidak ada apa-apanya dibanding orang lain yang jangankan untuk beraktivitas ringan, untuk menarik napas saja harus berusaha dengan keras. Sangat sadar. Saya teramat sadar. 

Tapi, tolong biarkan sekali ini saja saya mengeluarkan apa yang sudah lama saya pendam. 

Sakit itu akan membuat diri stres. Minum obat secara kontinu membuat tertekan meski mindset sudah diatur dengan kata "sembuh, sembuh, pasti sembuh." It is unavoidable. Terkadang, bangun pagi dengan mood bagus, pikiran optimis. Namun ada waktunya merasa hopeless, merasa lemah, panik, bahkan terkadang ingin menyerah. Rasanya seperti menghitung detik menuju detak jantung terakhir. Ada perasaan marah kepada diri sendiri karena merasa jadi beban untuk orang di sekitar ketika tubuh tidak bisa diajak berkompromi menjalani hari, merasa kasihan dan bersalah kepada mereka yang merasa khawatir dan menghabiskan waktu mengurusi orang seperti saya. 

Di saat-saat begitu, saya tidak bisa apa-apa. Di saat pikiran penuh dan hati berkecamuk begitu, saya hanya bisa menangis. Iya, saya selalu membiarkan hal itu terjadi. Karena jika tidak, masalah akan bertambah lagi. Saya membiarkan semua pikiran negatif itu menari kemudian menyeka air mata lalu pergi tidur. Lalu saat bangun, kembali menghimpun kekuatan diri untuk kembali berjuang. 

Tidak, saya tidak menulis semua ini untuk menjadi pusat perhatian. Tapi, inilah perlarian terakhir saya. Untuk melepaskan semua perasaan negatif yang sudah semakin menghantui saya belakangan ini. 

"Makanya rajin ibadah! Ikhlas! Banyak doa sama Tuhan!"
Oh, Honey, do you really think I don't do that?" :)




Share:

Minggu, 28 Mei 2017

Utuh yang tak lagi sama

"... in case I break my promise"

Aku terpaku. Membeku. Mulutku kelu, "You... will break your promise?"

"Kamu tahu kan, Sayang, aku tidak pernah ingin ingkar janji, terpikir pun tidak. Tapi, jika jawaban Tuhan adalah tidak untuk doa kita, kita bisa apa? Aku bisa apa?"

Bodohnya aku. Aku lupa. Aku lupa bahwa Tuhan yang berkuasa. Tak lagi terpikir olehku bahwa akan selalu ada kemungkinan itu, tak peduli sekuat apapun kita berusaha, tak peduli berapa lama bermunajat pada-Nya. Kata 'pisah' tak lagi ada dalam kamus ku ketika kita saling menemukan. 

Karena,
kamulah yang menggenapiku.

Karena,
untuk pertama kalinya, aku merasa utuh
Share: