Dulu, duluuuuu sekali, sekitar 10 tahun lalu, ketika saya baru duduk di bangku kuliah, saya pernah menulis di secarik kertas yang sayangnya tidak ada dokumentasi resminya. Tapi isinya begini:
2010-2014 Kuliah S1
2014-2015 Profesi
2016-2018 Kuliah S2
Kuliah sarjana baru masuk, tapi perempuan keras kepala ini sudah bikin target S2. Hahaha. Entah apa yang ada di kepala saya saat itu. Mungkin masih berpikir bahwa kuliah itu enak, gampang. Ternyata kuliah farmasi hanya enak untuk diucapkan. Perjalanannya? ya begitulah... hahaha.
Singkat cerita, 2014 saya wisuda sarjana. Alhamdulillah.
Empat bulan setelah wisuda sarjana, kuliah profesi-yang hingga kini mottonya tetap saya pegang, "indah untuk dikenang, tidak untuk diulang"-dimulai, dan segala drama dan keribetannya selalu jadi penguat saya (dan teman-teman pascasarjana lain) "Kalau kuliah profesi yang begitu bisa dilewati, maka yang ini pasti bisa dilewati." Mengapa? karena memang kuliah profesi jauuuuh lebih berat daripada kuliah pasca sekarang.
Setahun setelahnya, 2015, wisuda profesi! Gelar profesi jadi penutup tahun 2015 yang manis. Alhamdulillah, masih sesuai rencana. Sebelum wisuda, saya sudah kode orang tua bahwa saya ingin S2. Belum dikabulkan. Dua ribu enam belas awal, saya masih merengek ingin S2. Namun, masih sama, malah disarankan bekerja. Akhirnya, tengah tahun, saya bekerja. Tapi sekolah masih jelas terbayang di benak. Akhir 2016, lampu hijau untuk lanjut sekolah menyala. Saya langsung tancap gas. Juli 2017, saya resmi tercatat sebagai mahasiswi pasca sarjana farmasi sains. Bukan main bahagia kembali merasakan atmosfer kampus.
Meleset sedikit dari target saya. Tapi tak apa, yang penting saya kembali sekolah demi mengejar mimpi.
Lalu,
keinginan lain perempuan sok kuat ini makin kuat. Loh? Iya. Di dalam daftar target saya itu, ada satu target lagi yang menurut saya tidak begitu penting: menikah.
Di saat sebaya saya ingin menikah, sibuk mengurus perintilan pernikahan, atau malah ada yang sudah mengurusi anak, si aneh ini malah makin ingin sekolah. Maka tekad masa SMA untuk menikah di akhir usia 20-an, diperkuat dengan SELESAIKAN S2 DAN PUNYA KARIR YANG JELAS, BARU MENIKAH" yang hingga hari ini masih saya pegang dengan teguh. Terlebih setelah putus dari mas mantan pacar dan orang tua yang selalu bilang ke orang-orang, "Indahnya masih sekolah. Nanti aja nikahnya," saya merasa jalan saya makin lapang.
Kemudian, rencana bertambah satu lagi: Doktoral harus dimulai sebelum usia 35. Jadi, pertanyaan pertama saya pada (bakal) calon suami adalah: apakah saya diizinkan sekolah lagi? Kalau boleh, maka kita bisa melanjutkan pembicaraan. Jika tidak, I am sorry, goodbye. Iya, se-saklek itu.
Iya, perempuan ini ketagihan sekolah. Ditambah dengan akses doktoral yang (saat itu) sudah di depan mata, ketagihannya semakin menjadi-jadi. Senang bukan kepalang ketika ada kesempatan bisa lanjut doktoral dalam waktu dekat. Makin semangat untuk lulus S2 sesegera mungkin. Menikah? Apa itu menikah? Yang ada di kepala perempuan galak ini hanya buku, diskusi ilmiah dan belajar (plus takoyaki dan kebab).
Mungkin Tuhan jengah melihat hamba-Nya yang satu ini hanya mementingkan ambisi, atau orang tua yang mulai khawatir terhadap adiksi sang anak yang mulai di luar kontrol, maka... ditariklah ia ke dunia nyata.
Ia dipaksa pulang oleh keadaan. Keadaan yang sama sekali tak ia suka, pun harapkan. Terbersitpun tidak. Ia ditarik dari pintu yang menuju mimpinya ke pintu lain yang sangat asing baginya. Maka, tinggallah mimpinya di belakang. Tergantikan dengan keharusan menjalankan peran sesuai sumpahnya pada Tuhan 5 tahun silam.
Maka, tinggallah tulisan di awal itu sebagai kenangan. Tuhan memilihkan jalan lain untuk saya, untuk mengingatkan saya bahwasanya Ia adalah yang Maha Mengetahui seluruh semesta dan sebaik-baiknya Pemilik Rencana..
Bukan hal yang mudah untuk menerima.
Apakah saya memilih melupakan semua mimpi lantas menikmati hidup saat ini? Tidak. Saya masih di sini, masih dengan mimpi yang sama, namun dengan strategi yang berbeda. Lebih berat? Iya. Hanya saja, saya sungguh terlalu keras kepala dan arogan untuk menikmati hidup yang kata orang-orang (kata orang-orang loh ya, bukan opini pribadi saya) sudah berhasil, sudah "jadi orang".Tidak, saya tidak mau, karena definisi saya tentang "berhasil" dan "jadi orang" berbeda dari kebanyakan. Sungguh menambah catatan anomali saya.
Tulisan di awal mungkin tidak akan terwujud semua sesuai harapan. Tak apa, yang Tuhan berikan adalah anugerah yang patut disyukuri (dan memang saya syukuri dengan sangat). Pelajaran juga untuk saya, agar selalu siap terhadap perubahan.
I'll be there, someday.
0 comments:
Posting Komentar