Senin, 19 September 2016

Sembilan belas September dua tahun lalu

Sembilan belas September dua tahun lalu,
Mungkin hari itu...
Hari Jumat yang biasa bagi sebagian orang,
Hari Jumat yang dinanti bagi mereka penikmat libur akhir pekan.
atau,
Hari Jumat yang membosankan bagi mereka penggila tantangan.

Namun,
Sembilan belas September dua tahun lalu,
Hari Jumat terakhir di kota dengan lambang dua angsa bagi seorang wanita dewasa muda sebelum merantau ke kota lain

Sekaligus,
Hari Jumat terakhir ia bisa bicara pada salah seorang inspirator, motivator, dan pahlawan hidupnya.
Hari Jumat terakhir ia bisa menyentuh tubuh yang biasa ia peluk saat masih berteman akrab dengan boneka beruang berbaju merah muda.

Ya,
Sembilan belas September dua tahun lalu,
Akas berpulang dengan damai dalam lelap tepat sebelum tengah hari mencapai titik puncak,
Pergi bersamaan dengan tetes hujan --yang dirindukan tanah-- kembali datang menghampiri bumi

Sembilan belas September dua tahun lalu

Remuklah hati seorang anak perempuan,
Kala untuk pertama kali dalam dua dasawarsa hidupnya, ia melihat sedih tak berperi terpeta jelas di wajah pria yang ia sanjung dengan sebutan "Raja",

Tahukah Akas,
Pria itu mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk terlihat tegar, meski telinga putrinya mendengar tangis yang ia sembunyikan dengan rapi di dalam hati.

Sembilan belas September dua tahun lalu,
Ada banyak pasang mata kosong menatap Akas,
Sebagian tak henti menyeka air mata,
Merasa hati dan jiwanya mati rasa
Seraya berjuang melewati masa suram, berusaha untuk tidak menggugat Tuhan akan sesuatu yang telah Ia firmankan.

Sembilan belas September dua tahun lalu,
Hingga sembilan belas September tahun ini,
ingatan hari itu masih di sana, membeku sempurna meski waktu berusaha meluluhkan,
pun tak mampu terpecahkan oleh memori baru,

Rindu itu masih di sana, tak pernah pudar barang segaris
Bahkan masih terasa sembilu, tak tersembuhkan...

Sembilan belas September dua tahun lalu,
Hingga sembilan belas September ini,

Kami,
Berdamai dengan kepergian, namun tak pernah bisa menghapus perih kehilangan.

Sebegitu hebat sayang kami untukmu, Akas,
Dan akan selalu begitu meski sembilan belas September telah berlalu..

Share:

Jumat, 16 September 2016

:')

"Nih!"
Sebuah kotak berwarna biru jatuh ke pangkuan saya yang sedang asik mengutak atik ponsel sore itu.
"Apaan nih?"
"Kasian liat kakak harus bolak balik bongkar pasang perban elastis di kaki, jadi Adek beliin ini."

Ya,
Sejak kecelakaan dua tahun lalu, yang membuat saya berurusan dengan dua dislokasi sendi, bertambah lah satu barang yang harus saya sediakan : penyangga sendi atau perban elastis.
Beberapa minggu yang lalu, saya dengan cerobohnya mencederai (lagi) sendi yang masih belum pulih benar itu (I'm still mad at ya, lantai parkiran!). Alhasil, nyeri itu kembali lagi berkunjung dan saya kembali mengenakan perban elastis yang memang tidak efisien untuk digunakan terutama ketika bongkar pasang perban sebelum dan sesudah bersentuhan dengan air.

Hei, my Baby Girl,
terima kasih untuk perhatian kecil mu. Terima kasih untuk berusaha meringankan sakitnya.
Terima kasih untuk masih mau berbuat baik pada kakak yang tak henti menjahilimu.

You are definitely a nurse (to be)!
Share:

Itulah rezekimu..

Ddrrtt...
Ponsel yang tergeletak diam di atas meja selama beberapa jam belakangan bergetar pelan, disusul dengan lampu notifikasi yang menyala di sudut kanan atas. 

 
Ternyata pesan berisi gambar di atas yang masuk ke sebuah grup chat saya dan sahabat-sahabat dekat saya. Awalnya saya hanya membaca cepat isi dari gambar tersebut, namun, saya kembali membaca ulang dengan kecepatan yang jauh lebih lambat dari sebelumnya, berusaha mencerna isi kalimat gambar tersebut.

Jodoh dan profesi...

Jodoh...
Ya, memang semua orang berharap memiliki jodoh yang akan bersama hingga maut memisahkan. Memilih pasangan jelas menjadi suatu hal tersendiri karena ketika sebelum memutuskan untuk hidup bersama dengan seseorang selama sisa hidup, tentulah perlu dipikirkan dan dipertimbangkan dengan matang.

Cukup sampai di sana komentar saya tentang jodoh.

Profesi...

Saat ini, saya berprofesi sebagai seorang Apoteker, profesi yang lekat dengan obat-obatan. Ingatan saya kembali ke masa saat gelar sarjana baru saja tersemat di belakang nama, saya menetapkan hati untuk melanjutkan kuliah profesi apoteker. Dan sekarang, saya sudah resmi terdaftar sebagai seorang apoteker dan bekerja sebagai penanggung jawab di sebuah apotek dan turun langsung dalam pelayanan kefarmasian dan manajerialnya.

Apotek?
Iya.

Gajinya bagaimana?
Oh, gaji tentu menjadi pertimbangan ketika melamar pekerjaan bukan? Gaji saya, sejauh ini cukup, sangat cukup untuk menopang hidup saya saat ini. 

Tapi ada kan tempat kerja lain yang menawarkan gaji berkali lipat di atas gaji yang diterima sekarang?
Ada dan banyak. Lalu mengapa saya tidak memilih bekerja di tempat yang mampu memberikan saya lebih banyak?

"Bukan sekadar besarnya gaji, yang terpenting adalah yang membahagiakanmu. Itulah rezekimu."

Mungkin sampai di sini saja kalian akan mengatakan saya naif, polos. Tetapi, percayalah, saya sangat bahagia dengan pekerjaan saya yang sekarang. Ketika bangun di pagi hari, saya tidak pernah merasa atau berpikir, "Ah, harus bekerja blablabla." Justru saya dengan ringan hati pergi menyongsong hari, merasa tak sabar menunggu pengalaman apa lagi yang menanti. Setiap hari, saya seperti anak kecil yang pergi menjelajah untuk menemukan hal baru dan pulang kala senja dengan membawa berbagai hal untuk diceritakan pada Ibu sembari tersenyum lebar.

Inilah rezeki saya saat ini. Dan saya bahagia menjalani profesi ini.

Tidak secuilpun penyesalan muncul setelah memilih profesi ini meski harus melalui banyak hal di perjalanan mencapainya dan siap untuk menjalaninya sepanjang sisa umur saya.
:)

dan semoga siapapun yang membaca tulisan ini, menemukan jodoh dan profesi yang tepat agar kelak tak perlu merasakan penyesalan.

 
 

Share:

Sabtu, 20 Februari 2016

Kapan Giliranmu?

Mata baru saja hendak mengakhiri jam kerjanya hari ini,
Punggung telah mencumbu kasur dengan alas motif bunga seruni,
Lalu,
Sekejap setelah kedua bola mata dengan iris berwarna coklat itu menutup diri,
kilasan-kilasan datang menghampiri...

Semua orang akan pergi suatu saat nanti,
Nanti?
Mungkin di saat jari menulis kata "nanti", seseorang tengah menghadapinya di detik ini

Semua orang akan pergi suatu saat nanti,
"Ketika kontrak mereka di dunia telah tiba tenggat waktunya", begitu kalimat yang sering mampir di telinga

Maka lenyaplah kantuk,
Berganti mulut mengutuk otak yang tak mengenal waktu memberi tahu,

Satu persatu proyeksi wajah familiar dalam berbagai usia ditampilkan..
Kini paru mulai terasa menyempit,
dalam upayanya mengatakan, "Jangan! Jangan! Jangan secepat itu!"

Kemudian,
Kulit pucat ini terasa semakin dingin saat...
"Kau! Kapan giliranmu?"

Share:

Selasa, 19 Januari 2016

Jam tangan milik Akas

Rantai jam tangan itu berwarna perak, dengan sentuhan nuansa emas di dalam bundaran penunjuk waktu .
Tidak banyak angka di dalamnya, hanya angka dari bahasa latin sebagai penunjuk tanggal, sisanya balok sebagai pengganti 12 angka pada jam.

Tidak ada yang istimewa,
Lalu?

Oh, sayangnya, jam tangan ini berbeda,

Karena jam tangan ini, diterima dengan sangat bahagia oleh seorang pria berambut putih berkulit sawo matang sebagai kado ulang tahunnya beberapa tahun silam.

Karena jam tangan ini, selalu terletak di meja merah tempat meletakkan gelas kopi, atau di atas lemari pendingin. Jika tak ada di sana, pastilah benda ini ada di pergelangan tangan kiri pemiliknya.

Karena jam tangan ini, selalu menjadi penanda untuk seorang wanita paruh baya menahan rindu pada suaminya, yang terpisah bukan lagi dengan jarak, namun dengan takdir bernama kematian.

Karena jam tangan ini,
Benda yang identik sekali dengan orang yang sangat kami cintai,

Jam tangan kesayangan (Alm.) Akas

:')

Share:

Kamis, 31 Desember 2015

Kenangan tanpa kamera

Dua senja lalu,
Di antara riuh pengunjung yang sibuk selfie di cafe yang tergolong hits di kota kecil ini,
Ada satu meja yang tak ikut mengeluarkan ponsel kemudian bergaya. Di meja yang penuh dengan segelas peppermint tea, vanilla latte dan secangkir espresso serta beberapa piring cemilan, yang terdengar hanya tiga suara bergantian bersahutan.

kala itu rinai, namun di meja itu suasananya cerah. Tawa renyah tak henti terdengar. Sembari sesekali deretan kalimat serius menceritakan mimpi dan ide atau sekadar opini menggantikan tawa.

Sederhana, sungguh sederhana..
Namun bermakna lebih dari sekedar kata.

Lupa, saya lupa kapan terakhir merasakan nikmat braingasm hingga saya lupa waktu. Saya lupa kapan terakhir saya menikmati waktu yang begitu berkualitas dengan membahas hal-hal hebat hingga mampu melepas dahaga saya akan pengetahuan baru.

Tidak, kami tidak berfoto barang sekalipun. Kami terlalu asyik berdiskusi hingga tak lagi mengenal teknologi. Menikmati sosialisasi nyata yang teramat langka.

Ah,
Sungguh hal sederhana yang mampu membuat jantung saya nyaris meledak bahagia.
Dan saya belajar satu hal, memori akan merekam lebih dari yang dapat kamera lakukan.

Share:

Sabtu, 17 Oktober 2015

Jangan langkahmu surut

Untuk kamu,

Apapun itu,
Biar saja,

Bagaimanapun nanti,
Jalani saja,

Jangan lagi bersandiwara,
Berakting sukacita di tengah lara,

Jangan lagi bohongi diri,
Jika memang terluka, tunjukkan saja

Tunjukkan saja semua resahmu, takutmu,
Jangan lagi mengiris nyawamu sendiri,

Menangislah hingga kau puas,
Ayo, pergilah, keluarkan saja

Setelahnya, dengarkan aku,

Hei,
Kedua kaki yang kau kira rapuh itu mampu membawamu melangkah sejauh ini,
Itu artinya kau kuat!

Tengoklah sejenak ke belakang,
Putar semua memori yang kau rekam,
 
Tak peduli betapa kuat angin menerjang
Hingga tubuh kecilmu terbang,
Kedua kakimu mampu kembali berdiri dan melangkah

Lalu, apa ini saatnya menyerah?

Hei, 
Tubuh ringkihmu jauh, jauh lebih hebat dari yang kau duga
Hatimu lebih luas dari dunia,
Pikiranmu saja yang terkotak takut

Hei, 
Jika semangatmu mundur,
Akan selalu ada tepukan di punggung sebagai penenang,
Akan selalu ada senyum terkembang sebagai penyejuk,
Akan selalu ada belaian Tuhan di setiap sujud

Silakan merasa takut,
Namun jangan langkahmu surut
:)

Share:

Dalam waktu yang abu-abu

Jika tangan ini mampu memperlambat waktu,
Akankah semua kan baik-baik saja?
Akankah sesak ini kan berkurang?

Jika malam lebih panjang,
Akankah lelah lenyap kala fajar menjelang?

Waktu,
Waktu,
Aku kehabisan waktu,

Tercekik di setiap detik yang berlalu,

Sedang jalan yang kakiku tuju, masih abu-abu...
Share: