Hari ini, tepat 2 minggu saya menikmati waktu istirahat yang diberikan Tuhan. Iya, 2 minggu lalu saya sempat terdampar selama 2 jam di instalasi gawat darurat sebuah rumah sakit di kota Padang. Setelah peristiwa tersebut, praktis kegiatan saya hanya diisi dengan bed rest karena meski sudah minum obat, gastritis tak kunjung membaik. Kondisi yang tidak stabil betul-betul menguras energi saya; stres, kehilangan selera makan, kehilangan 3 kg berat badan dalam 1 minggu pertama, malnutrisi, defisiensi vitamin bahkan infeksi tenggorokan. Ada malam-malam dimana saya sukar tidur karena tangan dan kaki saya kebas, perut kembung dan perih tak berkesudahan. Bahkan saya membatalkan rencana pulang saat Idul Adha. Pernah nekat ke kampus, berujung dengan rasa menyesak di dada. Iya, semua "cuma" karena gastritis.
Akhirnya kedua orang tua saya memutuskan membawa saya pulang. Saya harus ada di bawah pengawasan mereka selama 24 jam. Sebelum pulang, kami sempat menemui seorang internist dengan sub-spesialis bidang digestif. Saya pulang dengan segepok obat yang harus diminum selama beberapa hari.
Enak dong, istirahat di rumah, dengan kondisi makanan terjamin, bisa bermanja-manja dengan orang tua? TIDAK. Itu jawaban mutlak dari saya, PADA AWALNYA.
Loh, kok?
Saya rindu kuliah, saya rindu bertemu dengan teman-teman, berbincang soal hari hingga tugas yang menumpuk. Saya rindu atmosfer semangat belajar di kampus. Ketika Ibu saya memberi ultimatum bahwa saya harus ikut beliau pulang, hati saya berontak. Ya karena masih ingin kuliah dan segila itu saya terhadap pendidikan dan ambisi saya.
Dulu, ketika masih duduk di bangku kuliah sarjana, saya ini tergolong orang yang suka memaksakan diri. Jika sedang sakit namun masih bisa bangun dari tempat tidur, saya akan tetap ke kampus, meski badan tidak betul-betul fit. Bahkan saat skripsi dan saya mengalami kecelakaan lalu lintas, 3 hari setelah bisa berjalan, saya nekat ke kampus dengan kondisi kaki bengkak dan berjalan pincang. Pernah tidak tidur 24 jam, hipoglikemia, namun siangnya tetap ke kampus untuk ikut ujian tengah semester sembari memegang satu botol teh manis hangat. Iya, saya sekeras kepala itu.
Lalu, setelah beberapa hari di rumah, obat sudah habis separuh, kondisi membaik. Namun belum stabil. Masih ada masa dimana saya merengek, mengeluh badan kembali tidak enak. Saya kembali harus mengatur ulang waktu kembali ke rantau karena kondisi yang belum stabil.
Sedih? Iya.
Kenapa? Karena kembali harus menunda menghadiri kelas-kelas. Kembali menunda mimpi.
Selama beberapa hari ini, saya sempat berbincang dengan beberapa teman dekat, melepas stres, mengutarakan apa yang tersimpan dalam hati dan meminta pendapat. Terkadang juga menghabiskan waktu dengan merenung.
Hingga akhirnya...
Mungkin ini saatnya saya belajar mengalah. Belajar menurunkan ego diri, menaklukkan kerasnya ambisi. Saatnya saya belajar bahwa terkadang saya harus mengambil jeda dan berhenti sejenak untuk beristirahat sebelum kembali berlari mengejar mimpi.
Ini saatnya saya belajar untuk mendengarkan tubuh yang selama ini saya abaikan, merawat pemberian Tuhan yang selama ini tak pernah betul-betul saya perhatikan. Sungguh seorang hamba Tuhan yang kufur nikmat.
Belajar untuk sedikit merasa "masa bodoh" dan "tidak ambil pusing" karena saya tipikal orang yang sangat pemikir dan pencemas, bahkan untuk hal remeh. Belajar untuk lebih menikmati waktu karena hidup bukan hanya untuk mengejar dan memaksa mimpi untuk terwujud.
Kembali belajar bahwa Tuhan adalah sebaik-baiknya Pemilik Rencana.
Jadi, disinilah saya. Memilih merelakan absen kuliah demi harta yang Tuhan berikan kepada saya yang saat ini lebih membutuhkan perhatian.
Saya yakin, ada masanya saya kembali berlari mengejar mimpi. Segera.