Kemana dia?
Harusnya dia sudah harus di sini bersama sepeda tuanya
Ah, warna apa ya sepedanya?
Coba ku ingat sebentar,
Hmmm,
Hijau! Ya, hijau!
Hijau yang sudah pudar pun bertemankan noda karat di sana sini
Bukankah biasanya langkah pelannya akan terdengar di saat-saat seperti ini?
Sebelum jalanan menjadi riuh di penghujung hari
Mengapa aku belum juga menangkap bunyi sepatu karetnya?
Oh! Oh!
Itu dia!!!
Aku begitu cemas menunggu kedatangannya
Coba ku lihat...
syukurlah,
Ia baik-baik saja.
Ia muncul dengan setelan biasa,
Topi pandan usang,
Kemeja dan celana panjang tanpa corak yang ummm, sedikit kebesaran untuk tubuh kurusnya
Wajahnya tampak lelah seperti biasa, tak muram, namun tak pula tampak terlalu senang.
Di keranjang karung sepedanya hanya ada beberapa lembar karton.
Mungkinkah ia baru saja menjalani hari yang sulit?
Ayo, kemari, Pak Tua!
Ayo, duduklah di sini bersamaku!
Meski kita tak pernah saling bercakap,
Aku selalu bahagia bisa menemanimu dalam diamku dan heningmu di setiap hari.
Mungkin sesekali ada yang menyapamu,
Mengulurkanmu sesuatu,
entah selembar kertas yang ku tahu amat sangat berharga bagimu,
Atau pengganjal perut seperti yang kau dapatkan beberapa minggu lalu
Aku takkan pernah bisa melakukan itu padamu,
Yang mampu ku lakukan hanyalah merelakan tubuhku,
sebagai alas duduk untukmu melepas penat sejenak setelah berjuang mengumpulkan lembaran karton sejak terbit matahari demi sesuap nasi
Maafkan jika terkadang aku menjadi begitu dingin di kala mendung menggantung,
Atau membuat bagian tubuhmu terasa panas jika sebelumnya matahari memanggang kepalaku..
Ah,
Kau sudah akan pergi?
Baiklah,
Jaga dirimu baik-baik,
Kembalilah esok, esoknya lagi dan seterusnya
Aku takkan kemana-mana,
Aku akan selalu di sini untuk menanti kedatanganmu, Pak Tua!
Sampai jumpa!