Sabtu, 31 Desember 2016
Kamis, 15 Desember 2016
Naik level
Setahun lalu,
Kamu menangis setiap malam selama seminggu penuh.
Setahun lalu,
Kamu nyaris muntah setiap mencoba membaca setiap halaman buku yang terbuka di hadapanmu.
Setahun lalu,
Lidahmu mati rasa dan perutmu tak pernah mengeluh lapar.
Namun,
Kau tetap tak berhenti percaya dan berusaha,
Lalu,
Kamu baik-baik saja.
Semua rintangan itu berbuah manis seperti yang selama ini kau impikan.
Kini,
Rintangan kembali menghadang tubuh mungilmu
Kembali berusaha menjegalmu, dengan cara yang...
Jauh lebih rumit.
Naik level, kata mereka.
Bangun, Nona muda.
Sama seperti tahun lalu,
Yang satu ini akan bisa kau taklukkan,
Anginnya memang lebih kencang,
Jalannya pun lebih terjal,
Bangun, Nona muda.
himpun semua yang kau punya,
Kuatkan hatimu, mantapkan pikiranmu
Semua pasti berlalu.
Jumat, 21 Oktober 2016
Kraaakkk!!!
Kraaakkk!!!
Oh!
Ada sesuatu yang patah!
Oh,
Kau lagi, Hati?
Lagi???
Lagi???
Haaah...
Mari, ku bersihkan lukamu dan ku sambungkan lagi patahanmu.
Makanya, jangan semua kau masukkan ke dalam dirimu,
Bisa mati kau nanti, Hati!
Nah, sudah!
Tahan saja perihnya!
Salahmu sendiri.
Sudah, berhenti saja, Hati!
Bisa mati kau nanti!
Minggu, 09 Oktober 2016
...
Kemana dia?
Harusnya dia sudah harus di sini bersama sepeda tuanya
Ah, warna apa ya sepedanya?
Coba ku ingat sebentar,
Hmmm,
Hijau! Ya, hijau!
Hijau yang sudah pudar pun bertemankan noda karat di sana sini
Bukankah biasanya langkah pelannya akan terdengar di saat-saat seperti ini?
Sebelum jalanan menjadi riuh di penghujung hari
Mengapa aku belum juga menangkap bunyi sepatu karetnya?
Oh! Oh!
Itu dia!!!
Aku begitu cemas menunggu kedatangannya
Coba ku lihat...
syukurlah,
Ia baik-baik saja.
Ia muncul dengan setelan biasa,
Topi pandan usang,
Kemeja dan celana panjang tanpa corak yang ummm, sedikit kebesaran untuk tubuh kurusnya
Wajahnya tampak lelah seperti biasa, tak muram, namun tak pula tampak terlalu senang.
Di keranjang karung sepedanya hanya ada beberapa lembar karton.
Mungkinkah ia baru saja menjalani hari yang sulit?
Ayo, kemari, Pak Tua!
Ayo, duduklah di sini bersamaku!
Meski kita tak pernah saling bercakap,
Aku selalu bahagia bisa menemanimu dalam diamku dan heningmu di setiap hari.
Mungkin sesekali ada yang menyapamu,
Mengulurkanmu sesuatu,
entah selembar kertas yang ku tahu amat sangat berharga bagimu,
Atau pengganjal perut seperti yang kau dapatkan beberapa minggu lalu
Aku takkan pernah bisa melakukan itu padamu,
Yang mampu ku lakukan hanyalah merelakan tubuhku,
sebagai alas duduk untukmu melepas penat sejenak setelah berjuang mengumpulkan lembaran karton sejak terbit matahari demi sesuap nasi
Maafkan jika terkadang aku menjadi begitu dingin di kala mendung menggantung,
Atau membuat bagian tubuhmu terasa panas jika sebelumnya matahari memanggang kepalaku..
Ah,
Kau sudah akan pergi?
Baiklah,
Jaga dirimu baik-baik,
Kembalilah esok, esoknya lagi dan seterusnya
Aku takkan kemana-mana,
Aku akan selalu di sini untuk menanti kedatanganmu, Pak Tua!
Sampai jumpa!
Dasar kau ini!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Dasar kau ini!
Melawan diri sendiri saja tak bisa!
Sesumbar pula hendak menaklukkan dunia!
Tundukkan dulu lawan terberatmu!
Usah menepuk dada selagi ia belum bisa kau kalahkan!
Senin, 19 September 2016
Sembilan belas September dua tahun lalu
Sembilan belas September dua tahun lalu,
Mungkin hari itu...
Hari Jumat yang biasa bagi sebagian orang,
Hari Jumat yang dinanti bagi mereka penikmat libur akhir pekan.
atau,
Hari Jumat yang membosankan bagi mereka penggila tantangan.
Namun,
Sembilan belas September dua tahun lalu,
Hari Jumat terakhir di kota dengan lambang dua angsa bagi seorang wanita dewasa muda sebelum merantau ke kota lain
Sekaligus,
Hari Jumat terakhir ia bisa bicara pada salah seorang inspirator, motivator, dan pahlawan hidupnya.
Hari Jumat terakhir ia bisa menyentuh tubuh yang biasa ia peluk saat masih berteman akrab dengan boneka beruang berbaju merah muda.
Ya,
Sembilan belas September dua tahun lalu,
Akas berpulang dengan damai dalam lelap tepat sebelum tengah hari mencapai titik puncak,
Pergi bersamaan dengan tetes hujan --yang dirindukan tanah-- kembali datang menghampiri bumi
Sembilan belas September dua tahun lalu
Remuklah hati seorang anak perempuan,
Kala untuk pertama kali dalam dua dasawarsa hidupnya, ia melihat sedih tak berperi terpeta jelas di wajah pria yang ia sanjung dengan sebutan "Raja",
Tahukah Akas,
Pria itu mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk terlihat tegar, meski telinga putrinya mendengar tangis yang ia sembunyikan dengan rapi di dalam hati.
Sembilan belas September dua tahun lalu,
Ada banyak pasang mata kosong menatap Akas,
Sebagian tak henti menyeka air mata,
Merasa hati dan jiwanya mati rasa
Seraya berjuang melewati masa suram, berusaha untuk tidak menggugat Tuhan akan sesuatu yang telah Ia firmankan.
Sembilan belas September dua tahun lalu,
Hingga sembilan belas September tahun ini,
ingatan hari itu masih di sana, membeku sempurna meski waktu berusaha meluluhkan,
pun tak mampu terpecahkan oleh memori baru,
Rindu itu masih di sana, tak pernah pudar barang segaris
Bahkan masih terasa sembilu, tak tersembuhkan...
Sembilan belas September dua tahun lalu,
Hingga sembilan belas September ini,
Kami,
Berdamai dengan kepergian, namun tak pernah bisa menghapus perih kehilangan.
Sebegitu hebat sayang kami untukmu, Akas,
Dan akan selalu begitu meski sembilan belas September telah berlalu..
Jumat, 16 September 2016
:')
Sebuah kotak berwarna biru jatuh ke pangkuan saya yang sedang asik mengutak atik ponsel sore itu.
"Apaan nih?"
"Kasian liat kakak harus bolak balik bongkar pasang perban elastis di kaki, jadi Adek beliin ini."
Sejak kecelakaan dua tahun lalu, yang membuat saya berurusan dengan dua dislokasi sendi, bertambah lah satu barang yang harus saya sediakan : penyangga sendi atau perban elastis.
Itulah rezekimu..
Tidak secuilpun penyesalan muncul setelah memilih profesi ini meski harus melalui banyak hal di perjalanan mencapainya dan siap untuk menjalaninya sepanjang sisa umur saya.
Rabu, 11 Mei 2016
Untuk seorang adik
Dik,
Kakak tak pernah mengenalmu
Kakak tak pernah melihat wajah cantik mu,
Apalagi bertegur sapa denganmu meski dulu sekali, kakak pernah bertamu sebentar ke rumah mu.
Kakak hanya mengenal seorang saudaramu yang bertemu di dalam kelas.
Lalu,
Kakak terlambat tahu bahwa kamu telah pergi, kembali menghadap Tuhan.
Kakak sempat mengutuk diri karenanya.
Maafkan Kakak yang tak bisa menghibur abangmu, satu-satunya anggota keluarga mu yang kakak kenal baik, lebih cepat.
Teman macam apa kakak ini ya...
Dik,
Kakak ingin mengucapkan terima kasih padamu.
Iya, terima kasih.
Meski tak pernah ada kesempatan kakak mengenalmu,
Kakak belajar banyak dari kamu.
Abangmu menuliskan kalimat-kalimat indah tentangmu,
Pun Ayah, Ibu dan saudaramu serta teman-teman.
Kamu,
Sungguh adalah malaikat dalam rupa manusia
Yang kebaikan hatimu dapat menyentuh bahkan tanpa perlu bersua.
Lihatlah, Dik,
semua orang yang mengenalmu selalu mengucapkan kebaikan-kebaikan mu..
Semua itu menyadarkan kakak,
Bahwa, menjadi orang baik dan tulus, dan menjadi penyejuk hati setiap yang bertemu adalah hal yang amat berharga, dan,
Itu adalah cara terbaik untuk meninggalkan jejak di dunia.
Tak kan ada yang bisa menggugat peranmu,
Selamat beristirahat dalam damai, Dik..
Apa yang kamu tinggalkan menjadi warisan yang takkan lekang termakan zaman. 😊
Sabtu, 20 Februari 2016
Kapan Giliranmu?
Mata baru saja hendak mengakhiri jam kerjanya hari ini,
Punggung telah mencumbu kasur dengan alas motif bunga seruni,
Lalu,
Sekejap setelah kedua bola mata dengan iris berwarna coklat itu menutup diri,
kilasan-kilasan datang menghampiri...
Semua orang akan pergi suatu saat nanti,
Nanti?
Mungkin di saat jari menulis kata "nanti", seseorang tengah menghadapinya di detik ini
Semua orang akan pergi suatu saat nanti,
"Ketika kontrak mereka di dunia telah tiba tenggat waktunya", begitu kalimat yang sering mampir di telinga
Maka lenyaplah kantuk,
Berganti mulut mengutuk otak yang tak mengenal waktu memberi tahu,
Satu persatu proyeksi wajah familiar dalam berbagai usia ditampilkan..
Kini paru mulai terasa menyempit,
dalam upayanya mengatakan, "Jangan! Jangan! Jangan secepat itu!"
Kemudian,
Kulit pucat ini terasa semakin dingin saat...
"Kau! Kapan giliranmu?"
Selasa, 19 Januari 2016
Jam tangan milik Akas
Rantai jam tangan itu berwarna perak, dengan sentuhan nuansa emas di dalam bundaran penunjuk waktu .
Tidak banyak angka di dalamnya, hanya angka dari bahasa latin sebagai penunjuk tanggal, sisanya balok sebagai pengganti 12 angka pada jam.
Tidak ada yang istimewa,
Lalu?
Oh, sayangnya, jam tangan ini berbeda,
Karena jam tangan ini, diterima dengan sangat bahagia oleh seorang pria berambut putih berkulit sawo matang sebagai kado ulang tahunnya beberapa tahun silam.
Karena jam tangan ini, selalu terletak di meja merah tempat meletakkan gelas kopi, atau di atas lemari pendingin. Jika tak ada di sana, pastilah benda ini ada di pergelangan tangan kiri pemiliknya.
Karena jam tangan ini, selalu menjadi penanda untuk seorang wanita paruh baya menahan rindu pada suaminya, yang terpisah bukan lagi dengan jarak, namun dengan takdir bernama kematian.
Karena jam tangan ini,
Benda yang identik sekali dengan orang yang sangat kami cintai,
Jam tangan kesayangan (Alm.) Akas
:')