27 Agustus 2013
Me : (Mengetuk pintu kamar Ghea) "Ghe, mau keluar ya? Bisa anterin kakak beli oleh-oleh buat kawan-kawan di Jambi?"
Galih : "Kakak mau keluar? Jangan dulu lah. Kakak masih pusing, nanti jatuh lagi. Sudah, di rumah aja!"
Singkat. Namun maknanya tak sesingkat kalimat tak terduga itu.
Siapa sangka ia yang lebih muda 11 tahun bisa berkata begitu?
Mama pernah mengatakan bahwa kelak yang menggantikan ayah tuk melindungi adalah saudara laki-laki.
Aku mengamini hal tersebut dan benar-benar yakin,
Bahkan di usia yang belia, perlahan ia belajar melindungi keluarganya, saudarinya.
:)
Pun, ini bukan kali pertama...
Ingatanku melayang kembali ke beberapa tahun silam, kala putih abu-abu baru jadi kebanggaan.
Medio 2007,
Aku hanya mampu terbaring di atas tempat tidur dan memakan bubur. Jangankan berjalan, untuk berdiripun aku goyah.
Saat itu usianya baru 4 tahun, pipinya masih bulat bahkan lebih bulat dari pipiku. Pun, lemak bayi masih terlihat jelas di tubuh mungilnya. Tapi hatinya tak sekecil usianya. Di usia sebelia itu, ia rela menghabiskan waktunya bersamaku. Ia menemaniku di kamar, memastikan semua yang kubutuhkan dalam jangkauan dan... menyuapiku makan. Meski sedikit sulit baginya untuk menyuapiku, namun ia tetap melakukannya dengan sabar. Lantas menungguiku hingga aku tertidur baru ia pergi keluar.
Adakah yang lebih manis dari ini? :)